Ketika pihak Korea Utara hengkang dari pembicaraan nuklir tingkat kerja pertama dengan Amerika baru-baru ini, perundingnya mengacu kepada apa yang mereka sebut sebagai kekakuan dan kebijakan bermusuhan Amerika.
Ini merupakan cara klasik dalam perundingan Korea Utara: mengutip keluhan lama tentang Washington sebagai alasan untuk meninggalkan perundingan nuklir.
Tetapi langkah ini juga menunjukkan bahwa pemimpin Korea Utara Kim Jong Un merasa punya posisi tawar lebih baik dan merasa ada peluang lebih menguntungkan untuk pihaknya. Dia merasa rekan sejawatnya di Amerika (Presiden Donald Trump) dan Korea Selatan (Presiden Moon Jae-in) telah diperlemah oleh skandal-skandal politik dalam negeri mereka, demikian menurut beberapa analis.
Di Amerika, Presiden Trump dihadapkan pada penyelidikan pemakzulan yang berkembang cepat terkait usahanya untuk melibatkan pemerintahan asing menyelidiki lawan politiknya. Selain itu, kebanyakan jajak pendapat memperlihatkan kandidat Demokrat memimpin atas Trump dalam pemilihan presiden pada 2020.
Di Korea Selatan, Presiden Moon Jae-in popularitasnya terendah di tengah-tengah ekonomi yang melamban dan skandal korupsi dari Menteri Kehakimannya. Kebijakan Moon untuk terlibat dalam dialog dengan Korea Utara juga buntu, dan Pyongyang baru-baru ini mencap dia sebagai “mediator yang usil.”
Tidak jelas apakah masalah domestik Trump dan Moon akan memicu salah satu pemimpin itu untuk mengubah pendekatannya terhadap Korea Utara, tetapi masalah-masalah ini mengubah perilaku Korea Utara dan membuat pencapaian persetujuan nuklir semakin sulit, demikian menurut pengamat Korea.
“Saya rasa Korea Utara punya alasan kuat untuk mengambil posisi maksimalis,” kata Chun Yung-woo, seorang mantan penasihat keamanan nasional Korea Selatan. “Saya rasa wajar kalau Kim Jong Un punya harapan lebih tinggi.” (jm/pp)