Dengan lawan-lawan utamanya yang dipenjara atau tidak masuk dalam daftar pemilih, Presiden Tunisia Kais Saied hanya menghadapi sedikit hambatan untuk memenangkan kembali pemilihan pada Minggu (6/10), lima tahun setelah memanfaatkan reaksi anti-kemapanan untuk meraih masa jabatan pertamanya.
Pemilihan presiden pada 6 Oktober di negara Afrika Utara ini merupakan yang ketiga sejak protes-protes yang berujung pada penggulingan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada 2011 – otokrat pertama yang digulingkan dalam pemberontakan Musim Semi Arab (Arab Spring) yang juga menggulingkan para pemimpin di Mesir, Libya, dan Yaman.
Para pengamat internasional memuji dua pemilu sebelumnya karena memenuhi norma-norma demokrasi. Namun, serangkaian penangkapan dan tindakan yang dilakukan oleh otoritas pemilihan yang ditunjuk Saied telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah pemilihan tahun ini bebas dan adil. Dan partai-partai oposisi telah menyerukan pemboikotan.
Belum lama ini, Tunisia dipuji sebagai satu-satunya kisah sukses Musim Semi Arab. Ketika kudeta, kontra-revolusi, dan perang saudara mengguncang kawasan ini, negara Afrika Utara ini berhasil mengukuhkan konstitusi demokratis yang baru dan membuat kelompok-kelompok masyarakat sipilnya memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian karena menjadi perantara kompromi politik.
Namun, para pemimpin barunya ternyata tidak mampu menopang perekonomian yang sedang berjuang dan terganggu oleh pertikaian politik dan episode kekerasan dan terorisme.
Di tengah latar belakang tersebut, Saied, yang saat itu berusia 61 tahun dan merupakan orang luar politik, memenangkan masa jabatan pertamanya pada tahun 2019. Dia maju ke pemilihan umum berikutnya dengan janji untuk mengantarkan “Tunisia Baru” dan memberikan lebih banyak kekuasaan kepada kaum muda dan pemerintah daerah.
Pemilu tahun ini akan menawarkan pilihan opini populer tentang lintasan yang diambil oleh demokrasi Tunisia yang memudar sejak Saied menjabat. Para pendukung Saied tampaknya tetap setia kepadanya dan janjinya untuk mengubah Tunisia. Namun, ia tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun, dan tidak jelas seberapa dalam dukungannya di kalangan warga Tunisia.
Ini adalah pemilihan presiden pertama sejak Saied mengguncang politik negara itu pada Juli 2021, dengan mendeklarasikan keadaan darurat, memecat perdana menterinya, membekukan parlemen, dan menulis ulang konstitusi Tunisia untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Tindakan tersebut membuat marah kelompok pro-demokrasi dan partai-partai oposisi terkemuka, yang menyebutnya sebagai kudeta. Namun, terlepas dari kemarahan para politisi karier, para pemilih menyetujui konstitusi baru Saied pada tahun berikutnya dalam sebuah referendum dengan jumlah pemberi suara yang rendah.
Pihak berwenang kemudian mulai menangkap para pengkritik Saied, termasuk wartawan, pengacara, politisi, dan tokoh masyarakat sipil, menuduh mereka membahayakan keamanan negara dan melanggar undang-undang anti-berita palsu yang kontroversial, yang menurut para pengamat menghambat perbedaan pendapat.
Lebih sedikit pemilih yang berpartisipasi dalam pemilihan parlemen dan lokal pada tahun 2022 dan 2023 di tengah kesengsaraan ekonomi dan apatisme politik yang meluas. [em/ab]
Forum