Mahasiswa angkatan 2020 di Indonesia akan dikenang karena nasibnya di tengah pandemi. Setelah hampir setahun kuliah, mayoritas dari mereka belum pernah masuk gerbang kampus.
Nasib itu antara lain dialami Al Irhaska Firdaus, mahasiswa Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sejak dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di kampus idamannya setahun lalu, dia kuliah dari rumahnya, di Lumajang, Jawa Timur. Seperti punya teman, tetapi seperti juga tidak punya, ujarnya, karena kontak lebih banyak dilakukan di grup aplikasi percakapan.
“Yang paling terasa itu hubungan sama temen-teman, soalnya kalau ketemu langsung lebih cepat dekat, lebih cepat bonding-nya, lebih kenal. Sekarang ini belum terasa dekatnya,” kata Firdaus kepada VOA.
Kuliah daring juga tidak selalu mudah. Firdaus memberi contoh, ada banyak tugas seperti menulis naskah drama yang harus dilakukan berkelompok. Tentu saja jarak menjadi persoalan bagi mereka.
Nasib sama dialami Naufal A’isy, mahasiswa akuntansi sektor publik angkatan 2020 di Universitas Gadjah Mada. “Saya belum pernah ke kampus, cuma lewat doang,” katanya kepada VOA.
Naufal mengikuti perkuliahan dari rumahnya di Pemalang, Jawa Tengah. Ini pula yang membuatnya merasa, kuliah daring membuat boros kuota internet. Selain itu, dia merasa tidak bisa bergaul dengan teman seangkatan secara wajar, minim pengalaman sebagai mahasiswa, kesulitan memahami materi dan terkendala ketika ingin bertanya kepada dosen.
“Tapi ada enaknya juga. Kuliahnya bisa disambi mengerjakan tugas, kalau presentasi juga lebih gampang. Irit karena tidak perlu kos dan rapat-rapat dengan teman rasanya lebih efektif. Selain itu, bisa kuliah sambil tidur,” ujar Naufal.
Kedua mahasiswa ini berharap UGM segera membuka kesempatan kuliah luring atau tatap muka. Firdaus berpendapat, kuliah tatap muka penting bagai mereka yang sama sekali belum pernah datang ke kampus. Namun, dia mengaku mungkin tidak akan mengikutinya dalam waktu dekat, karena orang tuanya belum setuju. Sedangkan Naufal memastikan akan ikut, salah satunya karena dia merasa sebagai mahasiswa membutuhkan interaksi langsung.
Kuliah Bauran di UGM
Firdaus dan Naufal adalah dua dari ribuan mahasiswa UGM yang diminta berpendapat mengenai rencana kampus tersebut membuka kuliah bauran atau campuran semester depan, yang akan dimulai sekitar bulan Agustus.
Kepala Pusat Inovasi Kebijakan Akademik (PIKA) UGM, Dr. Hatma Suryatmojo menyebut, kuliah bauran sebenarnya sudah ada di UGM sejak 2018. Meski waktu itu belum populer, rektor telah mengizinkan dosen kampus itu untuk mengajar melalui jaringan internet, maksimal 40 persen materi. Pandemi COVID 19, kata Hatma, memaksa semua pihak untuk melakukan kuliah daring penuh, dan tentu bukan proses yang mudah.
Setelah setahun berjalan, UGM melakukan evaluasi. Melalui survei yang dilakukan, ditemukan fakta bahwa mayoritas mahasiswa merasa kuliah yang mereka ikuti tidak memberi hasil maksimal. Karena itu, kuliah daring seratus persen tidak seterusnya bisa dilakukan.
“Kalau kita melaksanakan daring penuh terus, nanti ada konsekuensi kemungkinan kualitas lulusan kita akan menurun, karena mahasiswa sendiri sudah mengakui mereka mengalami kesulitan dalam pemenuhan kompetensi untuk mata kuliah yang diambil,” kata Hatma.
UGM memang telah menyelenggarakan survei dengan responden mahasiswa dan dosen. Diketahui kemudian, sekitar 80 persen mahasiswa mengaku mengalami kesulitan memenuhi kompetensi. Faktornya beragam, mulai dari fasilitas komputer hingga jaringan internet di rumah mahasiswa.
“Hanya 11,6 persen mahasiswa yang mengatakan pemenuhan kompetensi pembelajaran terpenuhi dalam kuliah secara daring penuh,” tabah Hatma.
Sementara 76 persen dosen menyatakan lebih nyaman, jika mulai semester depan kuliah dilaksanakan secara bauran.
Hatma mengatakan, kondisi memang terus berubah terkait COVID 19. Namun setidaknya, pihak kampus telah melakukan persiapan seandainya kuliah akan dilakukan secara bauran. Saat ini setiap fakultas dan sekolah di UGM sedang melakukan pemetaan mata kuliah yang membutuhkan kegiatan tatap muka. Juga dilakukan pemetaan terhadap dosen yang memenuhi syarat untuk mengajar tatap muka dan pemetaan fasilitas serta ruang kelas untuk perkuliahan.
“Semua kita siapkan mulai dari infrastruktur hingga SDM. Harapannya saat nantinya menyambut mahasiswa baru sudah dalam kondisi siap,” tambahnya.
Kondis Pandemi Menentukan
Sementara itu, Wakil Rektor UGM Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan, Prof. Djagal Wiseso, rencana ini tentu disusun dengan mengutamakan aspek kesehatan dan keselamatan.
“Diharapkan masing-masing program studi melakukan langkah persiapan, mengutamakan keselamatan. Tim Health Promoting University diperkuat di tiap fakultas, membentuk tim Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bauran di tingkat fakultas dan universitas, dan memberi prioritas kepada mahasiswa angkatan 2020 dan 2021,” ujar Djagal.
Sejumlah syarat juga ditetapkan bagi mahasiswa yang akan mengikuti kuliah tatap muka, seperti membawa surat keterangan sehat bebas COVID 19 dan mengantongi izin atau persetujuan orang tua/wali. Mahasiswa peserta kuliah tatap muka akan menjalani pemeriksaan GeNose C-19 rutin, yang tersedia di setiap fakultas/sekolah di lingkungan UGM.
“Kepatuhan mahasiswa untuk menjalankan protokol kesehatan baik saat di kampus maupun di luar kampus juga harus dijalankan,” imbuhnya.
Selain diprioritaskan bagi mahasiswa angkatan 2020 dan 2021, mahasiswa tugas akhir dan program studi yang membutuhkan penyelenggaraan kegiatan secara tatap muka seperti praktikum, penelitian dan lainnya guna mencapai target capaian pembelajaran juga diberi kesempatan.
Djagal memastikan, rencana ini tetap memperhatikan perkembangan pandemi di tanah air. Jika jumlah kasus meningkat, bisa saja ditangguhkan hingga mereda.
Keputusan UGM ini akan menjadi acuan banyak kampus lain di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Jika terlaksana, dunia perguruan tinggi tanah air mungkin akan kembali normal, dan mahasiswa angkatan 2020 akan menginjakkan kaki di kampusnya pertama kali, setelah setahun menanti. [ns/ab]