Lebih dari 50 orang berkumpul dalam dua ruangan berbeda di salah satu hotel di Solo, Rabu (24/5). Satu ruangan berisi kelompok yang membahas pengembangan database Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif atau PKSAI sedangkan ruangan lain membahas aplikasi data anak berkonflik dengan hukum atau AKH.
Kegiatan ini digagas badan PBB yang menangani anak, UNICEF, dengan perwakilan sejumlah pemerintah daerah dan aparat kepolisian maupun kejaksaan yang mengurusi hak anak.
Juru bicara UNICEF Indonesia, Astrid Gonzaga Dionisio, mengatakan pengembangan pusat data terintegrasi tentang anak akan memudahkan anak mendapat pelayanan haknya. Menurut Astrid, ada 5 daerah di Indonesia yang menjadi percontohan pengembangan pusat data terintegrasi tentang anak.
“Supaya pelayanan kita dalam menangani anak itu efektif, efisien, perencanaannya baik, itu kita perlu penyusunan database yang solid. Untuk itu, pada minggu ini kami menggandeng lima daerah di Indonesia untuk mengembangkan database tentang kerentanan anak. Di sini hadir lima kabupaten kota di Indonesia yang akan menjadi percontohan atau pilot project. Jawa tengah ada Surakarta atau Solo dan Klaten, Jawa Timur ada Tulungagung, kemudian Sulawesi Selatan ada Gowa dan Makassar. Peserta acara ini karena berkaitan dengan database, maka perlu siapa yang menangani database karena pengelolaan data ini tidak sembarang orang, kita punya data by name, by address, itu perlu dilakukan suatu perlindungan database, apalagi ini tentang anak,” ungkap Astrid.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, sebagai salah satu wilayah yang menjadi percontohan, mengapresiasi langkah UNICEF mengembangkan pusat data terintegrasi tentang anak secara online. Kepala seksi Data dan Informasi Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga
Berencana Pemprov Jateng, Yuli Arsianto, mengatakan angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan maupun kasus anak berhadapan dengan hukum di Jawa Tengah masih memprihatinkan. Yuli mengungkapkan jumlah tersebut masih seperti fenomena gunung es, masih banyak yang kemungkinan tidak dilaporkan ke pemerintah daerah ataupun aparat hukum.
“Kasus tren kasus kekerasan terhadap anak memang meningkat di Jateng. Prosentasenya 50 ada. Tahun 2016 saja, anak berkonflik dengan hukum untuk Propinsi Jateng ada 700-an lebih, lha ini kan memprihatinkan. Ini memang perlu penanganan khusus, melalui sistem peradilan pidana anak. Itu data kami, kemarin saja masih terpecah-pecah data itu. Dinas kami mengumpulkan data dari berbagai layanan. Penyusunan sistem database yang ada ini dengan model terintegrasi, menjadi satu, terkoneksi online, " kata Yuli.
"Misalnya saja ada pelaku kejahatan yang ditangani ternyata masih berusia anak, kepolisian akan mengirim penelitian masyarakat ke BAPAS, nah ini sudah menggunakan sistem online, real time, kalau dulu masih menggunakan surat, kalau pakai surat kan kita tidak tahu, tidak bisa memantau ternyata ada kasus pelaku kejahatan berusia anak, sampai di mana progres proses hukumnya tidak tahu," lanjutnya.
"Dengan sistem aplikasi berbasis online, real time, kita bisa memantau di kepolisian ada sekian kasus anak, ditangani sampai peradilan sekian kasus, apa yang bisa kita lakukan, kita bisa memantau mendampingi anak tersebut apakah sudah sesuai dengan haknya, kita gunakan data primer, bukan data sekunder kalau ada 10 kasus hukum melibatkan anak, kita bisa lacak by name dan by address secara satu per satu datanya secara lengkap,” tutur Yuli.
Tak hanya soal pelayanan administrasi terintegrasi seperti pembuatan akta kelahiran, kartu identitas anak, pelayanan pendidikan, jaminan sosial, dan kesehatan anak, pusat data tersebut juga akan memantau penanganan kasus anak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), anak berhadapan dengan hukum, dan sebagainya.
Pemerintah sejak 2009 merealisasikan program pelayanan kepada lima kategori anak yang berisiko atau rentan mengalami masalah kesejahteraan sosial melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Lima kategori itu yakni balita telantar, anak jalanan, anak dengan disabilitas, anak berhadapan dengan hukum, serta anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Tahun 2016, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak. Kasus tertinggi anak berhadapan dengan hukum mencapai 1.002, kejahatan anak berbasis siber (cyber crime) 414 kasus, selanjutnya pelanggaran anak dalam pendidikan 328 kasus.
Anak jalanan juga masih menjadi persoalan serius bagi pemerintah. Jumlah anak jalanan tahun 2015 sebanyak 33.400 anak tersebar di 16 provinsi. Sedangkan anak jalanan yang mendapatkan layanan PKSA baru mencapai 6.000 pada 2016, atau baru sekitar 20 persen. Pemerintah melalui Kementerian Sosial mendeklarasikan Indonesia Bebas Anak Jalanan 2017. [ys/uh]