Penegakkan hukum dalam program “Citarum Harum” menyasar industri-industri yang membuang limbah yang tidak memenuhi syarat ke aliran sungai sepanjang 269 kilometer ini. Limbah industri memang menjadi salah satu pencemar Sungai Citarum bersama sampah rumah tangga dan kotoran ternak.
Polda Jawa Barat, yang digaet oleh Satgas Citarum, melaporkan selama 2018 telah mengungkap 58 kasus pelanggaran. Dari jumlah tersebut, kata Kapolda Jabar Agung Budi Maryoto, 19 diantaranya sudah diteruskan ke pengadilan.
“Pada tahun 2018, kita sudah menerbitkan berkas perkara yang sudah lengkap, jadi sudah menunggu jaksa penuntut umum untuk diajukan sidang di pengadilan negeri di mana pelanggaran itu dilakukan,” ujarnya dalam Rapat Evaluasi Satu Tahun Citarum Harum di Bandung, Selasa (15/1/2019).
Perwira tinggi polisi ini mengatakan, mayoritas industri yang dijerat memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang belum sesuai standar. Polda Jabar mencatat, mayoritas perusahaan yang melanggar berada di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi.
Bupati Bandung Barat, Dadang Nasser, menyatakan dukungan penuh terhadap upaya polisi ini. Dia tidak akan membela perusahaan di wilayahnya yang terbukti nakal.
“Mana yang dibina, terus mereka juga diberi kesempatan memperbaiki, mana yang diangkat ke jalur hukum. Pembinaannya ada perjanjian dengan mereka. KLH (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) ada perjanjian perbaiki IPAL-nya,” jelasnya kepada wartawan.
Upaya Hukum Hadapi Kendala Teknis
Namun upaya ini tidak semulus yang diperkirakan. Di lapangan, polisi masih kekurangan ahli pidana lingkungan, ahli lingkungan, ahli bahan beracun dan berbahaya (B3), serta ahli korporasi. Selain itu, upaya aparat juga terhambat sedikitnya jumlah pengambil sampel dan pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH). Padahal kehadiran PPLH ini diwajibkan undang-undang.
“Kalau kepolisian hari ini diminta pasti akan datang. Tapi dalam konteks penegakkan hukum butuh bersama-sama (pengawas lingkungan hidup). Jangan sampai nanti sampai ke pengadilan itu dijadikan sanggahan oleh pengacaranya jadi vonisnya bebas,” jelas Agung lagi.
Di samping itu, belum semua lokasi memiliki laboratorium yang terakreditasi. Sementara uji lab yang ada bisa mencapai 2 minggu. Keduanya turut menghambat proses penyelidikan dan penyidikan.
Kritik dari Industri dan Masyarakat
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Cimahi, yang terdiri dari 47 perusahaan di kota itu, mengeluhkan perbedaan standar IPAL yang ada di lapangan. Dewan Pertimbangan Apindo Cimahi Samsoel Maarif menceritakan, industri diminta mengolah limbahnya menjadi air jernih dengan ikan yang hidup di dalamnya. Standar itu jauh lebih tinggi di atas standar baku mutu limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ya kan prosesnya harus tambah gitu loh. Dari kondisi kotor menjadi jernih, ikan hidup itu bukan murah itu,” terangnya kepada wartawan dalam kesempatan yang sama.
Samsoel berharap pemerintah kembali pada standar KLHK yang berisi 9 parameter limbah. “Asosiasi akan membela siapa yang benar, siapa yang belum benar pengen benar. Dan kalau yang nakal yang silakan satgas atau pemerintah (tindak). Silakan yang punya kekuasaan,” paparnya.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang juga jadi Ketua Satgas Citarum, mengakui terjadi perbedaan standar di lapangan. Standar itu diterapkan komandan sektor (dansektor) yang bertugas melakukan pemulihan ekosistem dan monitoring pelanggaran. Karena itu pihaknya akan membentuk kantor tunggal di mana “segala keputusan dibuat.”
“Terjadi tafsir di lapangan. Apakah standar KLHK itu dipegang, ternyata dansektor menafsir lain. Maka di awal Februari kita akan bersepakat. Kalau yang KLHK disepakati, ya sudah, hanya yang mengeluarkannya nanti urusan Citarum di kantor (terpusat) baru itu. Biar tidak berbeda-beda cara menguji di lapangannya,” jelasnya.
Sementara itu, masyarakat mengeluhkan penegakkan hukum yang terkesan tebang pilih. Dadan Hermawan, mantan aktivis Walhi Jawa Barat, mengatakan banyak bangunan masyarakat dibongkar sementara pabrik dibiarkan berdiri.
“Ini belum berkeadilan sosial. Kalau bangunan masyarakat di badan sungai dibongkar, kalau pabrik tidak dibongkar. Kapolda dan Pangdam berani nggak membongkar pabrik jangan hanya warung kaki lima,” jelas pria yang akrab disapa Utun ini.
Bagaimanapun, program “Citarum Harum” tetap akan dilanjutkan. Pada 2018, Polda Jabar hanya memiliki 84 juta Rupiah - yang cukup untuk 5 kasus - namun berhasil menyelesaikan berkas 19 pelanggaran.
Kapolda Jabar Agung Budi Maryoto mengatakan telah menerima kucuran 3 miliar Rupiah langsung dari Mabes Polri. Angka 35 kali lipat ini, ujar dia, akan digunakan sepenuhnya untuk Citarum.
“Ini akan kita distribusikan kepada Polres-Polres yang menangani khusus menangani CItarum saja. Tidak boleh misalnya ada kasus tindak pidana tertentu penambangan pasir di Garut, tidak boleh. Jadi 3 miliar ini khusus difokuskan untuk penanganan Citarum Harum sehingga tahun 2019 bisa maksimal,” ujar pria yang jadi Kapolda Jabar sejak 2017 ini. [rt/em]