Sebuah tim kimia di Inggris telah berusaha bertahun-tahun untuk mencari cara untuk mengawetkan vaksin.
Setelah para ilmuwan menciptakan vaksin, kita cenderung berpikir tugas mereka dalam mengatasi penyakit mematikan, telah selesai. Namun tidak demikian.
Sebagian vaksin seperti polio bisa disimpan dalam suhu ruangan untuk jangka pendek, masih bisa efektif dan memicu respon kekebalan pada tubuh seseorang.
Namun, vaksin lain kurang stabil dan harus disimpan dalam keadaan 'rantai dingin.'
Ini artinya vaksin itu hanya bisa efektif apabila disimpan dalam ruangan bersuhu antara dua sampai delapan derajat Celcius. Suhu ini harus dijaga sepanjang perjalanan dari tempat produksi ke orang yang akan disuntik -- kemungkinan ribuan kilometer jauhnya.
Apabila ada kebocoran dalam proses pendinginan, artinya jutaan vaksin rusak.
Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO), separuh vaksinnya rusak karena ini.
Ini karena protein dalam vaksin berubah pada suhu lebih tinggi, dan tidak ada yang bisa memulihkannya ke bentuk semula.
Sekelompok tim pada Universitas Bath telah berusaha mencari tahu bagaimana mencegah protein berubah.
Mereka menemukan sebuah cara untuk melapisi protein di silika, proses yang mereka sebut sebagai ensilikasi. Mereka mengatakan cara ini bisa menjaga struktur asli dari sebuah protein apabila dipanaskan hingga 90 derajat Celcius.
Periset utama Dr. Asel Sartbaeva mengatakan mencari solusi cara lain ibarat berusaha mengembalikan telur yang sudah matang ke bentuk semula.
Sartbaeva menjelaskan, kebanyakan vaksi, terutama vaksin anak mengandung protein yang merupakan rantai asam amino.
“Dan, rantai itu memiliki bentuk tertentu, jadi masing-masing protein akan memiliki bentuk unik sendiri. Bentuknya sangat penting bagi protein karena, misalnya, apabila ada sisi yang aktif, bisanya dilindungi dengan rantai asam amino di dalamnya, begitu proteinnya mulai terurai, sisi yang aktif terpapar dan apabila itu terjadi, protein tidak bisa dipulihkan,” paparnya.
Tim Sartbaeva telah mempelajari suntik tetanus yang merupakan bagian dari vaksin DTP (diphtheria, tetanus dan pertussis) yang menurut UNICEF, merupakan vaksin yang paling banyak diberikan kepada anak-anak.
Sartbaeva meyakini apabila vaksin-vaksin Covid-19 dikembangkan di masa depan, bisa menghadapi masalah transportasi dan distribusi yang sama.
Dalam studi yang dilaporkan dalam jurnal Science Advances, Sartbaeva dan timnya mempelajari vaksin tetanus biasa dan vaksin yang dilindungi silika, yang dibawa ke sebuah lokasi lain 482 kilometer jauhnya.
Studi itu mengklaim respon kekebalan dideteksi pada seekor tikus yang diberi vaksin yang dilindungi silika, tapi tidak lainnya.
Sartbaeva mengatakan protein yang dilapisi silika, bisa awet keefektifannya bertahun-tahun:
"Kami menyimpan sebagian vaksin di suhu ruangan selama bertahun-tahun dan yang kami dapati, bahkan setelah disimpan di bertahun-tahun tanpa pendinginan, kami masih bisa mengeluarkan proteinnya dan bisa digunakan. Masih berfungsi seperti protein asli,” kata Sartbaeva.
Pakar kimia itu mengatakan sejak studi itu diterbitkan, dia dan timnya telah mengulangi eksperimen itu dengan keberhasilan. [vm/jm]