Wabah virus corona menghadirkan dilema bagi puluhan ribu warga Palestina yang bekerja di wilayah Israel, yang kini dilarang ke luar dan masuk. Mereka bisa menetap sementara di Israel, di mana upah lebih tinggi tapi wabahnya lebih buruk, atau pulang ke rumah untuk mengarantina diri dan menganggur di Tepi Barat.
Pihak berwenang di kedua belah pihak juga menghadapi dilema karena wabah itu mengabaikan sama sekali perintang yang mereka bangun karena puluhan tahun konflik.
Israel dan Otorita Palestina memberlakukan lockdown menyeluruh sejak pertengahan Maret lalu, yang secara otomatis menutup Tepi Barat dan membatasi pergerakan di wilayah itu. Namun para pekerja Palestina diizinkan tetap berada di Israel karena sektor konstruksi dan pertanian, yang penting bagi ekonomi Israel, memang sangat membutuhkan mereka.
Orang-orang Palestina bisa mendapatkan upah yang lebih tinggi di Israel daripada di Tepi Barat, di mana pertumbuhan ekonomi terhambat oleh pengawasan militer Israel selama lebih dari setengah abad. Banyak di antara para pekerja itu memiliki keluarga besar yang bergantung secara finansial pada mereka, dan pendapatan mereka penting bagi ekonomi setempat.
Israel dan Otorita Palestina awalnya sepakat mengizinkan para pekerja itu tetap berada di Israel hingga dua bulan sepanjang mereka tidak bepergian ke luar masuk Israel. Namun tak sedikit pekerja Palestina yang memilih pulang karena khawatir tertular virus corona yang mewabah di Israel. Apalagi majikan mereka tidak menyediakan alat-alat pelindung diri dari kemungkinan tertular virus itu.
Israel memiliki lebih dari 9.200 kasus yang dikukuhkan, dan 65 kematian. Otorita Palestina yang memiliki 250 kasus dan satu kematian melaporkan bahwa 73 persen kasus di wilayah mereka terkait dengan para pekerja yang pulang dari Israel. [ab/uh]