Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemutusan kemitraan Indonesia dengan bank investasi JPMorgan Chase & Co adalah sebuah hal biasa dan merupakan hak dari pemerintah Indonesia.
Berbicara di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Selasa (3/1) Wapres Kalla mengatakan pemutusan kemitraan kerja adalah hal yang biasa terjadi pada setiap hubungan kerja.
"Mau ini, mau itu, kan terserah kita. Bukan terserah dia kan. Ya itu biasa saja, semua hubunga itu biasa," ujarnya.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memutuskan kontrak hubungan kerja dengan JPMorgan berdasarkan Surat Menteri Keuangan ditandatangani pada 17 November 2016.
Kementerian menilai analisis JPMorgan yang menurunkan peringkat Indonesia dari overweight ke underweight (penurunan dua tingkat) berpotensi menggangu stabilitas keuangan nasional.
Lewat surat itu, pemerintah menyatakan tidak lagi menerima setoran negara dari siapa pun melalui seluruh cabang JP Morgan yang ada. Kedua, menyelesaikan segala perhitungan atas hak dan kewajiban terkait pengakhiran dan penyelenggaraan layanan JPMorgan Chase Bank sebagai bank persepsi atau bank penerima setoran pendapatan negara.
Ketiga, pemerintah akan segera melakukan sosialisasi kepada semua unit, staf dan nasabah terkait dengan berakhirnya status bank persepsi tersebut. Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, J Morgan otomatis turut dicoret dari daftar bank persepsi program amnesti pajak. Keputusan ini berlaku per 1 Januari 2017.
Kepala ekonom PT Bank Mandiri Tbk Anton Gunawan kepada VOA mengatakan hasil riset JP Morgan tidak sesuai dengan kenyataan situasi perekonomian di Indonesia.
"Itu agak aneh juga kalau seandainya tiba-tiba kita secara relatif dibandingkan dengan negara lain ya... Hasilnya itu kok gak masuk akal," ujarnya.
Pemutusan hubungan kerja sama itu menurut Anton merupakan wewenang penuh dari pemerintah Indonesia. Anton meyakini, kalangan investor tidak akan terpengaruh dengan hasil riset JP Morgan.
"Ya tapi itu hak dari Kementerian Keuangan untuk memutuskan hubungan kerja ya nggak masalah juga dong. Dan menurut saja jika itu (hasil riset JPMorgan) ga kredibel, ya harusnya investor nggak gunakan itu. Atau kita lawan dengan riset lain. Dalam riset mereka bilang itu bagus, tapi anehnya kesimpulan strategisnya kok gitu," tambahnya
Mengganggu Stabilitas
Pada 13 November 2016, JPMorgan mengeluarkan riset berjudul "Trump Forces Tactical Changes" yang ditujukan kepada para investor JPMorgan. Dalam paparannya, JPMorgan mengawalinya dengan menjelaskan efek terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, yang membuat pasar keuangan dunia bergejolak, terutama negara-negara berkembang.
Imbal hasil (yield) obligasi bertenor 10 tahun bergerak cepat dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen sehingga meningkatkan risiko atas negara berkembang seperti Brazil, Indonesia dan Turki.
JPMorgan kemudian memangkas peringkat surat utang atau obligasi beberapa negara. Brasil turun satu peringkat dari overweight menjadi netral. Begitu juga Turki, dari netral ke underweight akibat adanya gejolak politik yang cukup serius.
Indonesia dianggap berada dalam posisi cukup buruk, yakni dari overweight menjadi underweight atau turun dua peringkat. Malaysia dan Rusia bahkan dinaikkan peringkatnya menjadi overweight. Afrika Selatan tetap dalam posisi netral.
Overweight artinya adalah selama enam hingga 12 bulan ke depan, pasar keuangan akan bergerak di atas rata-rata ekspektasi dari para analis. Netral artinya dalam rentang yang sama, pergerakannya sesuai ekspektasi. Sedangkan underweight artinya di bawah espektasi atau diperkirakan lebih buruk.
Atas peringkat Indonesia yang turun drastis, maka JPMorgan menyarankan agar investor untuk berpikir membeli surat utang dari negara lain yang lebih baik.
Pemerintah keberatan dengan rekomendasi tersebut, mengingat situasi politik negara lain seperti Brazil lebih tidak stabil daripada Indonesia.