Meskipun masih tinggal di tenda-tenda pengungsian, warga terdampak bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah, tetap antusias turut memberikan suara mereka dalam pemilu serentak 17 April 2019. Mereka berharap presiden dan anggota legislatif terpilih nantinya dapat membantu mereka mendapatkan tempat hunian yang lebih baik sebagai pengganti rumah tempat tinggal mereka yang rusak dalam bencana alam 28 September 2018 silam.
Tri Ayulestari (32 tahun) warga terdampak likuifaksi yang masih tinggal di tenda pengungsian Spot Center Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu Sulawesi Tengah kepada VOA mengakui sebagian warga sempat enggan memberikan suara dalam pemilu 2019 karena kecewa pada wakil-wakil rakyat mereka. Tri mengatakan tidak satu pun wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif setempat pernah hadir dan merasakan kesusahan mereka pasca bencana alam likuifaksi yang menenggelamkan ratusan rumah di Perumnas Balaroa pada 28 September silam.
Tetapi Tri dan warga di tempat itu kemudian memutuskan untuk tetap memberikan suara mereka demi harapan terpilihnya caleg yang dapat membantu warga keluar dari kesulitan.
“Berharap kepada pemimpin yang terpilih bisa lebih memihak lagi ke masyarakatnya, kan kita tahu bersama pasca bencana ini banyak sekali problem-problem yang terjadi terutama di Huntara, di shelter. Masyarakat disini itu, ibu-ibunya sudah mau hampir golput karena kecewa dengan anggota dewan yang mereka menangkan kemarin tapi ternyata saat terjadi seperti ini mereka kok tidak nongol kayak itu,” keluh Tri.
Tri Ayulestari memaparkan bersama suami dan kedua anaknya sejak Oktober lalu ia tinggal di dalam tenda, menunggu kepastian kapan bisa mendapatkan Hunian Sementara (HUNTARA) yang sebelumnya dijanjikan sudah dapat ditempati akhir tahun. Secara keseluruhan di shelter pengungsian Spot Center Balaroa terdapat sekitar 700 keluarga yang masih tinggal di dalam tenda.
Di tempat lainnya, Latifah (24 tahun) menceritakan sejak bencana likuifaksi di Jonoo’ge, Kabupaten Sigi, ia dan keluarganya kini tinggal di Huntara yang dibuat secara swadaya di desa Kabonena, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi. Latifah berharap presiden dan wakil presiden terpilih nantinya akan dapat memberikan perhatian terhadap para korban bencana alam yang masih membutuhkan bantuan pemerintah.
“Kalau saya semoga yang menjadi presiden itu bisa memperhatikan warga khususnya kita yang terkena dampak bencana disini, karena banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan mereka karena sampai sekarang dana stimulan yang katanya sudah mau dicairkan sampai sekarang belum ada padahal masyarakat masih menunggu,” ungkap Latifah.
Latifah mengakui hidup di Huntara bukan hal yang menyenangkan karena mereka dihadapkan pada keterbatasan air bersih, polusi udara akibat debu, serta sulitnya mencari pekerjaan.
KPU Sulteng Hapus 1.700-an Pemilih yang Meninggal Akibat Bencana
Tanwir Lamawing Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tengah mengatakan pemilu serentak 17 April 2019 di 13 Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah akan diikuti oleh 1.952.810 pemilih. Ini merupakan jumlah final setelah KPU Sulawesi Tengah menghapus lebih dari 1.700 pemilih di Kota Palu karena meninggal dunia dalam peristiwa bencana alam 28 September 2018.
Tanwir menjelaskan untuk kawasan bekas pemukiman di Kelurahan Petobo dan Balaroa yang kini sudah menjadi tempat yang sudah tidak lagi ditinggali masyarakat pasca likuifaksi, KPU Sulawesi Tengah memutuskan untuk membangun TPS di bagian luar sekitar lokasi tersebut. Ini dimaksudkan agar pemilih dari Kelurahan Petobo dan Perumnas Balaroa tidak perlu pindah daerah pemilihan sehingga mereka tetap berhak mendapakan lima lembar surat suara.
“Kalau kita memindahkan TPSnya di lokasi pengungsian mereka, misalnya di Duyu itu berarti pindah Dapil, sehingga kemarin kita menyepakati supaya hak pilih mereka tetap utuh, 5 lembar surat suara, tetap TPS kita tempatkan disepanjang sekitar lokasi bencana itu,” ujar Tanwir.
Tanwir memastikan TPS-TPS itu dapat dijangkau dengan jarak yang tidak jauh dari tempat lokasi pengungsian warga terdampak bencana alam di Kota Palu.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan bencana yang terjadi di Kota Palu dan tiga kabupaten lain – yaitu Sigi, Donggala dan Parigi Moutong – pada 28 September 2018 lalu menyebabkan kerugian yang luar biasa. Total kerugian dan kerusakan akibat bencana gempabumi, tsunami dan likuifaksi di di Sulteng mencapai Rp 23,14 trilyun.
Kebutuhan anggaran untuk pembangunan kembali Sulawesi Tengah diperkirakan mencapai Rp 36 trilyun.
Pembangunan kembali atau rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut menyasar pada berbagai sektor, yaitu perumahan, infrastruktur, sosial, ekonomi dan sektor lintas. Kerugian tidak hanya dipicu oleh magnitudo gempa tetapi juga fenomena tsunami dan likuifaksi dengan skala dampak yang besar. Pada tahun anggaran 2019 ini, pemerintah provinsi mengajukan usulan sebesar Rp 3,5 trilyun untuk tahapan pemulihan pada kelima sektor tersebut. (yl/em)