Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert mengutip kisah yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia untuk mengupas sikap rasis. Tokoh RM Tirto Adhi Soerjo dalam novel itu dipanggil juga Minke. Nama itu mengacu pada kata monkey, atau monyet dalam bahasa Inggris. Tirto memang digambarkan sebagai satu dari segelintir pribumi di sebuah sekolah yang mayoritas siswanya kulit putih. Minke, adalah bagaimana guru Tirto memanggilnya.
Rasialisme di Indonesia, kata Robert memang berkaitan dengan penjajahan bangsa Eropa di Nusantara. Sikap ini berhimpitan dengan penjajahan, menurut Robert, karena dia memiliki fungsi.
“Fungsinya adalah, dia memberikan jalan masuk, untuk penaklukan. Sebelum secara betul-betul secara ekonomi dan politik itu dijajah, maka pertama kali yang harus ditaklukkan adalah dimensi- dimensi paling fisikal dan paling substil dari eksistensinya, yaitu rasnya,” ujar Robert, dalam diskusi yang diselenggarakan Komnas HAM, Kamis (12/2).
Tidak Sekedar Problem Pergaulan
Rasisme akhirnya menjadi bagian dari strategi para penjajah. Dalam kasus sebutan monyet, lanjut Robert, seseorang yang dituju dengan panggilan itu akan dijatuhkan dalam struktur hierarki sosial. Bukan sekedar disegregasikan, orang itu akan langsung diletakkan di posisi bawah dalam piramida struktur sosial masyarakat. Dengan cara itu, kata Robert seseorang sebenarnya sudah ditaklukkan.
“Itu kenapa menjadi penting, dalam melihat rasialisme, bukan semata-mata sebagai problem pergaulan antar ras, tetapi dia memang dalam sejarahnya melekat dalam struktur imperialisme. Dalam struktur penindasan itu,” tambah Robert.
Secara umum, dalam sejarah Indonesia, sebutan bangsa kuli juga dilekatkan penjajah kepada masyarakat ketika itu. Perendahan semacam itu menjadi strategi mempermudah penguasaan ekonomi dan politik oleh penjajah.
Yang harus diingat, lanjut Robert, adalah bahwa rasisme mengawali banyak peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian Yahudi oleh Hitler, sejumlah peristiwa pembantaian di Eropa Timur, begitu juga kematian masyarakat asli Amerika dan Australia. Ungkapan rasis, kemudian ditujukan untuk menciptakan segregasi dalam masyarakat. Jika dibiarkan, maka sama saja masyarakat menyetujui segregasi sosial berbasis dominasi yang bagaimanapun, menurut Robert sulit untuk dibenarkan.
Dalam kasus rasisme terhadap masyarakat Papua di Indonesia, misalnya, Robert melihat ada ironi yang besar.
“Dari sudut politik itu menjadi ironis, karena kita selalu punya klaim, kita menginginkan Papua selalu di dalam bagian demokrasi dan republik kita, tetapi pada saat yang sama kita membiarkan ungkapan-ungkapan yang bersifat segregatif terhadap Papua,”papar Robert.
Konteks Politik Berpengaruh
Marianna Amiruddin dari Komnas Perempuan memiliki pengalaman pribadi terkait isu rasisme ini.
“Pengalaman saya misalnya, saya waktu kecil di Madiun, saya kan putih, sipit, semua orang panggil saya Cino, Cino Londo. Dan semua orang bilang saya singkek, karena saya juga dianggap orang kaya. Itu dibangun kebencian bertahun-tahun karena ada isu politik waktu itu, isu tentang komunis, yang kemudian melabelkan Cina sebagai komunis,” kata Mariana.
Pengalaman itu memberi keyakinan kepada Mariana, bahwa mereka yang sejak kecil sudah bergaul dengan kelompok-kelompok berbeda, tidak akan terkena provokasi berbasis ras. Kecuali, tambahnya, jika memang seseorang menjadi bagian dari kelompok atau komunitas yang dibangun untuk membenci ras tertentu.
“Ketika saya berbaur dan berani dengan mereka, akhirnya kebencian itu menghilang sendiri. Saya pikir perlu ada pendidikan keberagaman, sehingga orang terbiasa untuk tidak takut pada orang asing, tidak benci pada orang asing atau orang yang berbeda,” tambahnya.
Penegakan Hukum Penting
Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin al Rahab mengakui, naiknya sikap rasis adalah gejala global dan bukan hanya ada di Indonesia. Pengelompokan masyarakat berdasar ras, digunakan untuk menekan kelompok masyarakat lain. Meluasnya pemakaian media sosial, dinilai Amiruddin turut menambah potensi sikap rasis di masyarakat.
“Tentu hal ini perlu kita lihat secara lebih baik, supaya kita tidak terjerembab ke dalam problem konflik berbau rasial. Meskipun kita di masa lalu, pernah hal itu terjadi, dan itu menimbulkan problem kemnusiaan yang luar biasa di Indonesia,” kata Amiruddin .
Amiruddin menilai, ada banyak pihak percaya bahwa rasisme adalah sesuatu yang alamiah, padahal hal itu sama sekali tidak benar. Saat ini, persoalan ras bisa saja merupakan bagian dari upaya untuk menggiring masyarakat ke satu sikap politik tertentu. Kondisi itu pula yang membuat belakangan ini mudah menemukan pengguna media sosial di Indonesia, yang meluapkan emosi dan pernyataan bernada rasis.
Amiruddin menegaskan, tindak rasisme jelas dilarang oleh undang-undang. Indonesia telah memiliki instrumen hukum untuk itu, yaitu UU Nomor 40 tahun 2008, tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Sayangnya, kata Amiruddin, UU ini tidak cukup dikenal dan jarang dijadikan rujukan oleh penegak hukum dalam mengusut tindak rasisme. Padahal, pemakaian UU ini penting jika Indonesia ingin menekan tindak kebencian berdasar ras.
“Bisa saja tindakan rasialis itu membahayakan nyawa orang lain. Oleh karena itu, kita perlu sadar betul bahwa kita mesti menolak secara bersama-sama, perilaku rasialistis dan mendorong adanya proses penegakan hukum terhadap orang yang berbuat seperti itu,” kata Amiruddin sambil merekomendasikan UU 40/2008 sebagai rujukan utama. [ns/ab]