Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian, berada di Amerika sejak akhir Oktober untuk menghadiri forum diskusi kontraterorisme di PBB di New York, bertemu dengan Direktur FBI, Christopher Asher Wray di Washington DC dan menghadiri beberapa pertemuan lain. Wartawan VOA, Alam Burhanan, mewawancarai Jenderal Tito di sela-sela kunjungannya untuk membahas berbagai hal antara lain peran Indonesia dalam memerangi terorisme dan gerakan radikal lainya. Berikut petikan wawancara:
VOA: Kita akan bicara dulu dalam konteks pertemuan di PBB. Bagaimana peran Indonesia dalam penanganan terorisme di kancah internasional?.
Tito Karnavian: Indonesia dianggap cukup sukses dalam menangani terorisme.Saya melihat ini kesempatan baik bagi saya dan bagi indonesia untuk menjelaskan tentang visi dan memberikan masukan untuk kebijakan penanganan terorisme PBB. Karena, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh PBB akan mempengaruhi dan memiliki impulsing power atau semacam kekuatan yang dapat, dalam tanda petik, “memaksa negara-negara lain untuk mengikuti kebijakan-kebijakan utama PBB”.
Saya ingin memanfaatkan jangan sampai PBB sebagai pembuat kebijakan utama dunia ini, salah dalam membuat kebijakan yang berakibat negara-negara lain juga melakukan kesalahan-kesalahan.
Mereka mengundang Indonesia karena Indonesia sukses menangani terorisme. Kesuksesan itu karena dua hal. Pertama, Indonesia mampu menekan aksi-aksi terorisme yang jumlahnya cukup banyak pada awal tahun 2000an hingga sangat berkurang baik secara kuantitas maupun kualitas, meskipun masih ada. Sehingga Indonesia tidak menjadi negara yang gagal dalam mengatasi terorisme sehingga dikuasai oleh teroris. Misalnya kasus di Irak, Suriah, Afganistan, Pakistan, Filipina Selatan dan beberapa negara lain yang kelompok terorismenya semakin besar, bahkan mampu menantang negara secara terbuka. Kita belum sampai itu ya.
Kedua, kita mampu menangani terorisme dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip human rights dan demokrasi. Demokrasi menghendaki adanya supremacy of law dan protection of human rights. Demokrasi menghendaki due process of law yang artinya setiap yang ditangkap itu harus dibuktikan, kecuali tertembak dalam rangka pembelaan diri atau melumpuhkan yang bersangkutan karena membahayakan orang lain, diajukan ke peradilan. Tidak menggunakan prinsip ditangkap kemudian tidak diproses secara hukum. Itu dua penghargaan yang penting kepada Indonesia. Mereka ingin tahu kunci kesuksesan Indonesia.
Saya menjelaskan bahwa kesuksesan itu karena pertama pemilihan strategi yang tepat, di mana penegak hukum pada posisi terdepan dengan didukung oleh instrumen lain dari negara yaitu intelijen dan militer.
Pemilihan strategi yang tepat membuat masyarakat menjadi bersimpati kepada negara karena perang menghadapi terorisme itu sama dengan perang menghadapi insurgensi pemberontakan. Siapa yang berhasil memenangkan simpati publik, maka dia akan menang. Kalau publik bersimpati kepada negara karena menangani terorisme dengan cara-cara mematuhi aturan hukum, undang-undang, human rights, dan lain lain di dalam setting politik yang mengarah liberal demokrasi saat ini di Indonesia, maka negara akan mendapat respect dan dukungan dari publik.
Dan ketika (pelaku) dibawa ke peradilan dan dianggap bersalah, maka kita melihat bahwa pelaku-pelaku itu adalah pelaku kejahatan, bukan pejuang keagamaan. Pemilihan-pemilihan strategi yang tepat ini, saya kira menjadi satu poin untuk kita.
Yang kedua adalah kita mampu menerapkan secara simultan penanganannya dengan cara keras yaitu penegakan hukum. Kalau melawan pasti ditindak tegas dalam rangka pembelaan diri dan itu pun dilindungi oleh undang-undang lokal maupun internasional.
Soft approach yang kita lakukan juga merupakan hal unik bagi negara-negara UN. Tidak banyak negara menggunakan soft approach yaitu mendekatkan kepada mereka. Saya menjelaskan kepada mereka di UN, pertama, pahami bahwa terorisme tidak identik dengan Islam dan Islam tidak identik dengan terorisme. Islam, agama saya itu, adalah agama yang mempromosikan kedamaian dan toleransi. Bahkan saya kutip satu ayat, “lakum dinukum waliadin, my religion is my religion, your religion is your religion, practice your own religion, I can practice my own religion.
Pesan saya yang paling utama bahwa ini ideologi lama. Namanya Takfiri, Salafi Jihadi adalah ancient ideology yang ratusan-ribuan tahun. Mereka akan naik dan turun tergantung situasi politik. Kalau situasi politik yang terpenting bagi mereka, ada warga muslim yang dianggap dizalimi maka ideologi ini akan aktif dengan sendirinya. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir, how to minimise, tapi tidak bisa eradicated atau menyelesaikan secara total. Itu yang saya pesankan.
VOA: Di Indonesia sudah mulai ada kekhawatiran tumbuhnya gerakan-gerakan radikal. Apakah itu juga menjadi kekhawatiran dunia internasional?
Tito Karnavian: Ya, itu menjadi kekhawatiran concern UN. Beberapa pertanyaan muncul dari beberapa duta besar, Brooking Institute, Gedung Putih, dan advisor-nya Presiden Trump. Saya sampaikan ini adalah harga yang harus kita bayar. Itu resiko yang harus kita tanggung. This is the price that we have to pay for being the democratic society, menjadi negara yang demokratis. Kenapa? Kunci demokrasi adalah freedom, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan lain-lain. Nah, begitu kebebasan terbuka, maka otomatis apa pun juga termasuk ideologi-ideologi radikal pun merasa mendapatkan ruang.
Apakah ini ancaman? Ya, ini ancaman. Tetapi, seharusnya kita bisa mitigasi, bisa kita tangani. Caranya bagaimana? kita harus membuktikan bahwa demokrasi yang kita terapkan saat ini betul-betul bekerja, berjalan dan dapat mengangkat harkat dan martabat serta kesejahteraan bangsa Indonesia. Kalau seandainya itu bisa terjadi, jangan khawatir, masyarakat tidak akan memilih ideologi yang lain, termasuk ideologi-ideologi yang bunuh-bunuh orang itu. Saya sampaikan di UN, di situlah peran dunia, termasuk negara besar, membantu Indonesia.
Yang kedua, ideologi radikal berkembang tapi membendungnya sesuai dengan cara-cara demokrasi yaitu rules of law. Ada yang buat hoax, tegakan hukum. Kalau memang belum ada hukumnya, buat hukumnya. Misalnya, yang bergabung dengan teroris luar negeri ke Malawi dan Suriah, ketika mereka mau kembali tidak ada hukumannya. Nah, buat hukumnya. Kira-kira begitu.
Ada mereka yang berserikat dan berkumpul, tapi ternyata menantang ideologi pancasila, menggantinya dengan sistem politik yang lain yang bertentangan dengan NKRI. Ya, buat undang-undangnya dan kita hargai pemerintah berani membuat itu. Perpu ormas misalnya, adalah terobosan-terobosan berani yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghambat radikalisme itu dengan cara-cara rules of law, bukan dengan cara mereka dibunuhi atau dengan kekerasan seperti beberapa negara lain atau tanpa proses pengadilan.
VOA: Beralih ke hubungan Indonesia-Amerika. Apakah sudah ada bentuk kerjasama yang mungkin akan diwujudkan antara Indonesia dengan Amerika?
Tito Karnavian: Sebetulnya banyak sejak bom Bali. Ini kerja sama kan luas sekali, saya akan berbicara tentang terorisme dan keamanan lainnya yang kita bicarakan dengan FBI. Dengan FBI kita sudah lama berhubungan dan menjadi salah satu mitra penting kita, disamping polisi negara ASEAN lainnya. Kerja sama dalam penanganan kasus terorisme tetap kita lakukan, terutama menghadapi ISIS dan jaringannya.
Dulu kita sukses menghadapi Al-Qaeda dan jaringannya. Sekarang gelombang kedua adalah ISIS dan jaringannya, sehingga perlu ada kerja sama tukar-menukar informasi, sharing inteligent, capacity building terutama menghadapi social media.
Dan mereka juga menghadapi problem yang sama. Dia merasa Indonesia lebih hebat dalam menghadapi karena di Indonesia sudah ada undang-undang seperti Undang-Undang ITE. Kita memiliki instrumen-instrumen lain yang dalam konteks di Amerika akan sulit dan menghadapi tantangan karena dianggap mengurangi kebebasan. Kemudian kita bersepakat melakukan kerja sama di bidang cyber, menghadapi kejahatan internasional, dan juga yang lain-lain. Sebetulnya kalau untuk bidang terorisme sudah sangat maju dan sudah terprogram dengan baik.
VOA: Terkait cyber crime dan kejahatan online sekarang. Misalnya kasus di New York. Pelaku hanya simpatisan dan tidak lagi anggota jaringan radikal. Bagaimana komentar bapak mengenai hal ini?
Tito Karnavian: Memang ada fenomena baru semenjak ada social media dan internet yang disebut dengan fenomena lone wolf yaitu mereka yang meradikalisasi sendiri, self-radicalization. Membaca di internet, di social media mengenai korban konflik-konflik, misalnya, merasa panas dan bangkit kemarahannya. Setelah diberikan ayat-ayat, namanya online indoctrination, mulai pikirannya berubah. Setelah itu, dia mengikuti online training. Belajar cara membuat bom, cara menyerang, cara menyurvei target, dan kemudian beroperasi sendiri itu disebut dengan lone wolf, serigala yang sendirian.
Saya melihat fenomena ini di barat sudah cukup banyak terjadi dan sulit dideteksi. Karena itu, harus memperkuat kemampuan cyber troops, dunia siber untuk mendeteksi. Bukan hanya intelijen lapangan, tetapi juga intelijen di dunia siber harus kuat. Kita memiliki itu. Saya sudah mengembangkan itu cukup intens dalam setahun terakhir ini. Kita memiliki kemauan itu tiga atau empat tahun lebih, sekarang lebih intens lagi.
Di Indonesia, memang ada beberapa lone wolf, misalnya bom Kampung Melayu dan lain-lain. Tetapi, saya berpendapat dari beberapa kasus itu tidak semuanya murni lone wolf. Mereka memang belajar secara online tentang cara membuat bom, menyerang, dan menyurvey target. Tetapi masih tetap berhubungan dengan jaringan. Pertemuan dengan jaringan masih ada dalam kasus di Indonesia.
Oleh karena itu, saya melihat perbedaannya adalah di Amerika, sebagian besar (pelaku) murni lone wolf, di Indonesia masih campuran antara kelompok jaringan dengan dia memperkuat dirinya dengan pengetahuan-pengetahuan secara online. Khusus kasus New York, saya melihat otoritas di Amerika dan New York harus memahami betul, tidak langsung mengatakan itu adalah lone wolf. Tetapi sambil mendalami apakah dia memiliki kaitan dengan jaringan-jaringan tertentu. Apalagi dia bukan orang asli sini. Dia berasal dari satu negara pecahan Soviet dan kemudian dia baru datang pada 2010 di sini. Pertanyaannya, apakah benar dia dalam waktu 7 tahun langsung berubah menjadi lone wolf?. Sementara, saya melihat sudah ada lone wolf tapi bukan purely lone wolf. Saya belum melihat sampai ke sana, masih terkait dengan jaringan.
VOA: Anda berencana menjadi pengajar internasional untuk bidang kontraterorisme setelah pensiun nanti, apakah betul?
Tito Karnavian: Itu obsesi saya dulu. Saya tidak tertarik terjun ke dunia politik. Saya tidak kuat melihat dinamika politik Indonesia karena tarik menariknya luar biasa. Saya merasakan jadi Kalpori saja sudah digebuki terus ya, banyak musuhnya. Memang membuat kita lebih tough, tapi kapan-kapan kita bisa terpeleset juga.
Nah, kenapa kita tidak mencari tempat yang lebih tenang, sambil tetap membaktikan diri dengan cara lain. Ya, hobi saya di bidang pendidikan. Saya sudah persiapkan lama. (Saya) Betul-betul mengikuti sekolah yang memiliki reputasi, sehingga saya mendapat gelar akademik. Bukan karena gelarnya tetapi pengetahuannya. Kekuatan seorang akademis bukan pada gelarnya, tetapi pada pengetahuannya. [ab/fw/aa]