Sudah maksimalkah upaya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mengatasi bencana yang sudah menimbulkan dampak tidak saja di Indonesia tetapi juga Malaysia dan Singapura ini?
Eva Mazrieva (VOA) hari Senin (5/10) berbincang-bincang dengan Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.
VOA: Kami mendengar bahwa Selasa ini (6/10) kembali akan digelar konferensi pers tentang bencana asap di Kalimantan dan Sumatera mengingat jumlah titik api yang semakin banyak?
Sutopo Purwo Nugroho (BNPB): “Ya betul. Jadi Ketua BNPB Willem Rampangilei Selasa besok (6/10) akan memberi penjelasan tentang upaya dan strategi yang akan dilakukan mengingat asap terus meluas dan “hot-spot” di Kalimantan dan Sumatera masih banyak. Melihat kondisi itu BNPB mencoba mengembangkan strategi baru untuk memadamkan api di kedua tempat itu dan upaya jangka panjang agar kebakaran hutan dan lahan tidak terulang setiap tahun”.
Apa strategi baru yang coba dilakukan BNPB?
“Pertama karena titik api di Sumatera Selatan kebanyakan ada di perkebunan atau hutan tanaman industri maka segera kita kerahkan kekuatan yang ada melalui udara dan darat untuk memadamkan api di sekitar OKI – Ogan Komering Ilir. Sudah hampir satu bulan ini titik api di OKI tidak mati dan asapnya sangat pekat mencemari wilayah di Jambi dan Riau, sehingga harus segera dipadamkan. Kami akan memaksa perusahaan-perusahaan disana bertanggungjawab dengan membangun sekat-sekat kanal di wilayahnya. BNPB sudah memindahkan tiga helikopter dan bahan bakar yang diperlukan, sudah ada 20 drum bahan bakar yang kami kumpulkan dan sudah kami bawa ke OKI. Selasa besok kami kerahkan tiga helikopter untuk melakukan “water bombing” ke OKI”.
Upaya memadamkan api akibat kebakaran hutan dan lahan ini sudah berlangsung lebih dari tiga minggu dan mengerahkan berbagai unsur : BNPB, tentara dan polisi, masyarakat dan LSM serta instansi-instansi lain; tetapi tampaknya belum membuahkan hasil. Mengapa Indonesia menolak tawaran bantuan memadamkan api dari Singapura dan Malaysia?
“Pertama, potensi nasional masih mencukupi. Kedua, tawaran yang disampaikan Singapura dan Malaysia itu juga tidak banyak. Singapura misalnya hanya menawarkan satu helikopter Chinook dan satu Hercules untuk melakukan hujan buatan. Demikian pula Malaysia. Ini tidak mencukupi. Kecuali jika mereka menawarkan helikopter dan pesawat dalam jumlah banyak dan memadai sehingga bisa membantu pemadaman secara signifikan, atau mengisi kesenjangan kebutuhan yang kita butuhkan. Misalnya kita butuh pesawat “water bombing” berkapasitas besar seperti BE-200 atau Canadian CL-145 yang sekali angkut bisa membawa 27,5 ton “water bombing”. Ini menjadi salah satu pertimbangan sehingga akhirnya kami memanfaatkan potensi nasional saja”.
Apakah kebutuhan ini sudah disampaikan kepada Malaysia dan Singapura?
“Sudah disampaikan. Jadi ada pertemuan dengan Kepala National Environment Agency Singapura, Dubes Singapura Untuk Indonesia dan pejabat-pejabat lain di kantor Menkopolhukam. Ka. BNPB Willem Rampangilei menjelaskan upaya komprehensif yang dihadapi dan upaya serius pemerintah Indonesia mengatasi bencana ini, termasuk titik-titik api yang begitu banyak di wilayah yang sedemikian luas, sehingga kami membutuhkan bantuan yang signifikan untuk mengatasi masalah itu. Pemerintah Singapura memahami dan melihat bahwa Indonesia serius mengatasi hal itu. Apalagi jumlah penduduk yang terkena dampak di Indonesia jauh lebih besar dan mengapresiasi hal itu. Bukannya Indonesia tidak berupaya mengatasi masalah itu dan memikirkan dampaknya ke Singapura dan Malaysia, tetapi masalah yang kita hadapi di dalam negeri saja sudah sedemikian besar”.
Setelah mendengar penjelasan itu, apakah Singapura dan Malaysia tidak berusaha memenuhi kebutuhan Indonesia tersebut?
“Tidak. Dalam pertemuan itu mereka tidak menawarkan tambahan bantuan sehingga kami kembali memanfaatkan potensi nasional. Lagipula dalam penanganan suatu bencana – dan ini berlaku universal di negara mana pun – tidak semua tawaran bantuan internasional itu harus diterima. Bagaimana pun juga kita harus menghormati kedaulatan suatu negara. Dan seharusnya pemberian bantuan itu sesuai dengan kebutuhan negara yang tertimpa bencana. Indonesia saat ini sudah mengerahkan 25 helikopter dan pesawat untuk melakukan “water bombing” dan hujan buatan, maka seharusnya bantuan yang disampaikan yang signifikan untuk membantu upaya kami itu”.
Indeks Standar Pencemaran Udara ISPU di Kalimantan dan Sumatera akibat asap sekarang sudah sangat parah, terutama di Palangkaraya dan Riau. Kami mendapat kabar bahwa sekolah-sekolah di kedua propinsi itu diliburkan selama tiga minggu terakhir dan baru baru dibuka kembali hari Senin (5/10) tetapi langsung diliburkan lagi? Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah terhadap ketertinggalan pelajaran para murid sekolah, kelambatan memenuhi standar kurikulum pendidikan dsbnya? Juga terhadap terjadinya kasus kematian atau warga yang sakit akibat terlalu lama menghirup asap yang pekat ini?Belum lagi dampak kesehatan dalam jangka panjang?
“Betul, yang paling parah saat ini adalah Riau dan Palangkaraya – Kalimantan Tengah. Riau memperoleh pasokan asap dari Sumatera Selatan, Kalimantan dan Riau sendiri. ISPU di Riau hari Senin (5/10) pada tingkat “berbahaya”, demikian pula di Jambi dan Palangkaraya. Jika ingin menanyakan tentang dampaknya terhadap pendidikan atau kesehatan, tentu ini bukan kewenangan BNPB. Sesuai instruksi Presiden Joko Widodo yang sangat jelas agar Menkes lebih aktif memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat. Kami lihat petugas kesehatan sudah memberi pelayanan dengan berkeliling, juga membagikan masker. Para penderita diobati dan diberi vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya”.
Sejauh ini memang pemerintah Indonesia telah menutup aktivitas publik – termasuk sekolah dan layanan masyarakat – serta mengaktifkan pelayanan kesehatan dan membagikan masker. Tetapi apakah itu upaya yang paling maksimal yang bisa dilakukan? Karena hari ini kami mendapat kabar sudah ada beberapa korban meninggal akibat asap, termasuk seorang staf Chevron yang meninggal karena sesak nafas ketika berada di lokasi kebakaran?
“Saya belum mendapat kabar tentang staf Chevron yang meninggal tetapi data yang ada di saya adalah sejak bulan Juli sudah ada lima orang meninggal. Tolong nanti disampaikan kepada kami jika informasi itu benar. Sejauh ini data yang saya terima lima orang yang meninggal. Dua orang meninggal karena membakar lahan dan terkepung asap kemudian meninggal. Tiga lainnya karena sakit akibat asap. Bagaimana pun dengan kondisi udara yang pekat dan berlangsung dalam jangka panjang, tak heran jika mulai jatuh korban. Di antara korban yang meninggal itu termasuk seorang anak berusia 12 tahun, yang sebelumnya telah memiliki penyakit TBC dan terjadi komplikasi karena menghirup asap pekat selama berminggu-minggu. Informasi tentang dampak kesehatan dan lingkungan bisa ditanyakan ke Kementerian Kesehatan karena tugas pokok BNPB lebih ke soal pemadaman api. Sementara soal koordinator penanganan bencana ini – sesuai instruksi Presiden – adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. BNPB dan TNI, Polri memberi dukungan penuh dalam operasi penanggulangan bencana asap ini”. [em/ii]