Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Rabu (14/2) mengeluhkan, bahwa kurang dari separuh dari misi pengiriman bantuan yang dimintakan oleh lembaga itu, telah disetujui oleh pihak Israel. Lembaga ini juga menekankan bagaimana kebutuhan untuk menjangkau dan mengirim pasokan bagi rumah sakit-rumah sakit yang telah hancur di seluruh kawasan tersebut.
“Rumah sakit-rumah sakit benar-benar kewalahan dan kelebihan pasien, sementara mereka kekurangan pasokan,” kata Rik Peeperkorn, perwakilan WHO untuk wilayah Palestina yang diduduki.
Berbicara kepada para jurnalis di Jenewa melalui sambungan video dari Rafah di Gaza selatan, dia menggambarkan bagaimana pasien sering kali menjalani amputasi anggota badan, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, dan bisa diselamatkan jika berada dalam situasi yang normal.
Sambil mengutuk “menyusutnya ruang kemanusiaan” di jalur Gaza, Rik menuduh Israel mengganggu pengiriman bantuan di seluruh wilayah Palestina yang dilanda perang.
Sejak November, hanya 40 persen dari misi WHO yang telah dimintakan ijin untuk mengirim bantuan ke wilayah utara Gaza difasilitasi, kata dia lagi.
“Sejak Januari, angkanya bahkan jauh di bawah itu,” tambahnya.
Hanya 45 persen dari misi bantuan yang diminta di Gaza selatan sementara ini telah dimungkinkan, ujar Peeperkorn.
“Misi-misi ini telah ditolak, dihambat atau ditunda,” kata dia, menggambarkan situasi disana sebagai “absurd”.
“Bahkan di saat tidak ada gencatan senjata, koridor kemanusiaan seharusnya tetap ada, sehingga WHO, PBB dan seluruh rekan kerja bisa menjalankan tugas mereka,” tambah Peeperkorn.
Kepala misi kemanusiaan PBB, Martin Griffiths memperingatkan pada Selasa (13/2), bahwa operasi militer apapun disana “bisa mengarah pada pembantaian”.
Peeperkorn setuju, peringatan bahwa “aktivitas militer di area yang memiliki populasi padat itu, tentu saja akan menjadi bencana yang tak terduga”.
Langkah semacam itu “bahkan akan memperluar lebih jauh bencana kemanusiaan di luar batas imajinasi”. [ns/lt]
Forum