Militer Israel mengatakan telah melakukan "serangkaian serangan" pada Senin pagi (12/2) di Rafah, Gaza selatan, yang kini telah "berakhir".
Associated Press melaporkan militer Israel mengatakan telah menyerang "sasaran teror di daerah Shaboura,” yang merupakan sebuah distrik di Rafah. Pihak militer mengatakan bahwa serangan tersebut telah berakhir, namun tidak memberikan rincian lainnya.
Para pejabat kesehatan Palestina tidak segera memberikan informasi mengenai korban jiwa, menurut Associated Press. Namun, kantor berita Prancis AFP melaporkan Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas mengatakan setidaknya tujuh orang tewas dalam serangan tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu menjanjikan "perjalanan yang aman" bagi puluhan ribu warga Palestina untuk keluar dari kota Rafah di bagian selatan Gaza, menjelang serangan darat yang direncanakan oleh Israel terhadap militan Hamas.
Namun, tidak jelas ke mana warga Palestina yang mengungsi itu akan pergi.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan hari Minggu pada acara "This Week" di stasiun televisi ABC, Netanyahu menegaskan kembali niatnya untuk memerintahkan pasukan Israel agar menyerang empat batalion Hamas di Rafah. Ia mengatakan tidak dapat meraih kemenangan di Gaza tanpa mengeluarkan militan Hamas dari kota yang terletak di perbatasan Mesir itu.
Lebih dari setengah dari 2,3 juta penduduk Gaza berdesakan di bagian paling selatan wilayah tersebut. Para pengecam yang selama ini mengkritisi langkah Netanyahu telah menyatakan kekhawatiran mereka akan kemungkinan serangan darat Israel.
Pemimpin Israel itu mengatakan, "kami akan melakukannya. Kami akan melakukannya sambil memberikan jalan yang aman bagi penduduk sipil sehingga mereka dapat meninggalkan lokasi itu."
Ketika ditanya ke mana warga Palestina, yang sebagian besar sudah berlindung di tenda-tenda darurat, akan pergi; Netanyahu hanya mengatakan para pejabat Israel "sedang menyusun rencana yang terperinci."
Beberapa pemimpin dunia telah menyampaikan keprihatinan tentang rencana perang Israel di Rafah dan janji Netanyahu akan keselamatan warga Palestina di sana.
Presiden Amerika Joe Biden pada Minggu berbicara dengan Netanyahu melalui telepon, dan mengatakan kepadanya bahwa Israel tidak boleh melanjutkan operasi militer di Rafah tanpa "rencana yang kredibel dan dapat dieksekusi untuk memastikan keamanan dan dukungan bagi lebih dari satu juta orang yang berlindung di sana," demikian pernyataan Gedung Putih.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa akan ada risiko "tragedi besar" jika Pasukan Pertahanan Israel memperluas serangan mereka ke kota tersebut. "Kami tidak akan mendukung pemindahan paksa, yang bertentangan dengan hukum internasional," kata juru bicara Guterres kepada wartawan, Jumat lalu (9/2) mengenai kemungkinan evakuasi warga di Rafah.
Biden, yang telah mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri setelah serangan teror Hamas pada tanggal 7 Oktober, minggu lalu mengatakan bagaimanapun juga kampanye militer Israel di Gaza "sudah keterlaluan."
Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menulis di platform media sosial X, "Orang-orang di Gaza tidak bisa menghilang begitu saja," dan menambahkan bahwa serangan Israel ke Rafah akan menjadi "bencana kemanusiaan yang sedang terjadi."
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada hari Sabtu memperingatkan "dampak yang sangat serius dari penyerbuan dan penargetan" Rafah dan menyerukan diadakannya pertemuan Dewan Keamanan PBB yang mendesak.
Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengatakan bahwa ia "sangat prihatin" dengan kemungkinan serangan tersebut. "Prioritasnya haruslah jeda segera dalam pertempuran untuk memasukkan bantuan dan mengeluarkan para sandera," tulisnya di X.
Serangan darat Israel ke Rafah juga dapat menimbulkan dampak lain. Televisi Al-Aqsa yang dikelola Hamas mengutip seorang pejabat senior Hamas yang mengatakan setiap serangan darat Israel ke Rafah akan "mementahkan" negosiasi untuk menghentikan pertempuran dan kemungkinan pembebasan sekitar 100 sandera yang masih ditahan para militan.
Perang di Gaza dipicu oleh serangan kelompok militan Hamas ke bagian selatan Israel pada 7 Oktober lalu yang menewaskan 1.200 orang. Hamas juga menyandera 240 orang di mana sekitar 100 orang telah dibebaskan dalam gencatan senjata selama satu minggu pada November lalu.
Mesir mengancam akan menangguhkan perjanjian perdamaiannya dengan Israel jika pasukan Israel dikirim ke kota perbatasan Rafah, yang padat penduduk, di mana pertempuran dapat memaksa penutupan rute pasokan bantuan utama wilayah yang terkepung itu, demikian petikan pernyataan dua pejabat Mesir dan seorang diplomat Barat pada hari Minggu.
Ancaman untuk menangguhkan Perjanjian Camp David, yang menjadi landasan stabilitas regional selama hampir setengah abad, muncul setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan pengiriman pasukan ke Rafah diperlukan untuk memenangkan perang empat bulan melawan kelompok militan Palestina, Hamas.
Lebih dari separuh populasi Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa telah melarikan diri ke Rafah untuk menghindari pertempuran di daerah lain, dan mereka memadati kamp-kamp tenda yang luas dan tempat penampungan yang dikelola PBB di dekat perbatasan. Mesir khawatir akan masuknya ratusan ribu pengungsi Palestina yang mungkin tidak akan pernah diizinkan untuk kembali.
Kebuntuan antara Israel dan Mesir, dua sekutu dekat AS, terbentuk ketika kelompok-kelompok bantuan memperingatkan bahwa serangan di Rafah akan memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah sangat buruk di Gaza, di mana sekitar 80% penduduknya telah meninggalkan rumah mereka, dan di mana PBB mengatakan bahwa seperempat dari penduduknya terancam kelaparan.
Stasiun televisi Al-Aqsa milik Hamas mengutip seorang pejabat Hamas yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa setiap serangan ke Rafah akan "menghancurkan" perundingan yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar yang bertujuan untuk mencapai gencatan senjata dan pembebasan sandera Israel. [em/rs]
Forum