Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Wiranto menekankan penyebaran berita bohong atau hoaks harus ditindak dengan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku, karena sama saja dengan menebarkan ketakutan atau teror di lingkungan kehidupan masyarakat. Apalagi, menjelang pemilu serentak yang kurang dari sebulan, hoaks semakin merajarela, sehingga membuat masyarakat enggan untuk melaksanakan hak pilihnya nanti.
Dalam Rapat Koordinasi Kesiapan Pengamanan Tahapan Masa Rapat umum/Kampanye serta Tahapan Penghitungan Suara, bersama Kapolri, Panglima TNI, Ketua KPU, dan Ketua Bawaslu di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (20/3), Wiranto mengatakan barang siapa yang menyebarkan hoaks, lewat media sosial misalnya bisa dijerat dengan UU ITE atau bisa juga dijerat dengan UU terorisme.
"Bahwa hoaks ini menteror masyarakat. Terorisme itu ada yang fisik ada yang non fisik. Tapi kan teror. Karena menimbulkan ketakutan. Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme. Untuk itu maka kita gunakan UU terorisme agar aparat keamanan waspada ini. Tangkap saja yang menyebarkan hoaks, yang menimbulkan ketakutan di masyarakat, karena itu menteror," ujar Wiranto.
Mantan Panglima TNI ini juga meminta kepada aparat keamanan agar tidak segan-segan menangkap siapa saja yang mau mengacaukan pesta demokrasi ini. Ia mengakui bahwa masih ada potensi kerawanan dan gangguan di beberapa daerah. Tapi ia pastikan bahwa aparat keamanan gabungan TNI dan Polri yang berjumlah lebih dari 500 ribu personil, akan berusaha mengatasi hal tersebut, sehingga dirinya yakin bahwa pemilu nanti akan berjalan dengan lancar dan aman. Meski begitu, Wiranto juga berharap kepada semua pihak agar mau bekerja sama dengan senantiasa menjaga keamanan, dan tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang menyesatkan.
“Di sini, kepada seluruh pihak, kami imbau, tokoh parpol, masyarakat, ormas, masyarakat pemilih, semua terlibat. Kami imbau, pemilu adalah proses demokrasi. pemilu adalah lima tahun sekali kita diberi hak pilih pemimpin kita. Sehingga suasananya harus gembira, bukan tegang, saling berhadapan. sehingga dalam praktiknya, bukan siapa melawan siapa, bukan saling berhadapan antar kontestan, tapi kontestan berhadapan dengan rakyat, sampaikan visi misi, kualitas, sehingga rakyat pilih yang terbaik. Salah apabila, kita dengan saling berhadapan, melawan. Sudah didiskusikan dengan Panglima dan Kapolri, agar masyarakat punya pemahaman itu, sehingga masyarakat tidak terkecoh untuk saling berhadapan dan berkonflik," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua KPU Arief Budiman meminta kepada masing-masing paslon capres dan cawapres untuk mematuhi jadwal zonasi dalam kampanye rapat umum, guna menghindari adanya bentrokan antar sesama pendukung. Jadwal kampanye rapat umum tersebut sudah diinformasikan kepada masing-masing tim kampanye dari kedua belah pihak, jadi seharusnya hal ini akan berjalan dengan lancar.
"Zonasi sudah dibikin, sekarang tinggal diimplementasikan, kan itu sudah di breakdown ke Provinsi, ke Kabupaten/Kota, sekarang semua peserta pemilu diminta agar mematuhi, menjalankan, zonasi dan jadwal yang sudah dibuat, bukan hanya zonasinya tapi jadwalnya harus dipatuhi kapan ke zonasi A ke B, jangan sampai nanti jadwalnya dia ke zona A tapi dia ke zona B," jelas Arief.
Ditambahkannya, soal pembagian zonasi tidak hanya berlaku untuk kampanye rapat umum tingkat nasional, namun berlaku sampai ke daerah, seperti Kabupaten dan Kota sehingga bisa dilaksanakan dengan tertib. Sistem zonasi yang dilakukan sifatnya berpindah daerah dan bukan mengurangi jadwal kampanye. Dalam kurun 21 hari kampanye, setiap masing-masing capres dan cawapres bisa bertukar zonasi setiap dua hari. [gi/em]