Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, mengkritik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang menaikkan status kasus yang menjerat akademisi Rocky Gerung dari penyelidikan ke tingkat penyidikan.
Rocky dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur tentang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran. Kasus ini bermula dari ucapan Rocky yang mengkritik Ibu Kota Negara (IKN) dan berujung pada tuduhan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo.
Menurut Isnur, kasus serupa juga dialami mahasiswa, aktivis, dan jurnalis. Karena itu, Isnur menyampaikan lembaganya akan bergabung membantu advokasi kasus Rocky Gerung.
"YLBHI memandang bahwa upaya kriminalisasi, pelaporan pidana, dan gugatan perdata merupakan serangan fisik lainnya merupakan serangan langsung kepada masyarakat Indonesia, demokrasi, dan kebebasan berekspresi," jelas Isnur di Jakarta, Selasa (24/10).
Isnur menambahkan pasal berita bohong dan keonaran ini juga menjerat aktivis hak-hak asasi manusia (HAM) yaitu Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Bedanya, kata Isnur, Fatia dan Haris dilaporkan secara langsung oleh orang yang merasa dirugikan yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sedangkan Rocky tidak dilaporkan Presiden Joko Widodo, melainkan oleh orang lain. Karena itu, Isnur menilai penyidik yang menangani kasus Rocky tidak profesional.
"Ini semakin kacau, biasanya ada pelaporan dari orang yang dibicarakan. Semisal Haris dilaporkan Luhut. Ini sama sekali tidak ada laporan dari Jokowi. Jadi ini lebih parah," tambahnya.
Kuasa Hukum Rocky Gerung dari Lokataru, Nurkholis Hidayat menambahkan bahwa keonaran yang dituduhkan kepada Rocky tidak terbukti di kalangan masyarakat. Sebaliknya dalam kasus ini, kata dia, Rocky yang menjadi korban persekusi yang dipicu pelaporan berbagai pihak ke polisi.
Kuasa hukum Rocky menemukan, sepanjang September-Oktober 2023, terdapat 60 tindakan persekusi terhadap Rocky Gerung. Pelaku persekusi tersebut antara lain melibatkan politikus dan partai politik.
"Dengan cara melarang Rocky Gerung untuk berbicara di forum-forum ilmiah, demonstrasi, dan lemparan-lemparan. Jadi ini persekusi dari orang-orang yang membela Jokowi," ujar Nurkholis.
Nurkholis menambahkan politik hukum pembentukan kedua pasal pada tahun 1946 atau 6 bulan setelah kemerdekaan berbeda dengan konteks politik hukum saat ini. Menurutnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, terminologi keonaran tidak lagi dikenal karena sulit dibuktikan secara materiil. KUHP yang baru kemudian diganti dengan terminologi kerusuhan yang lebih melihat kepada akibat yang ditimbulkan, daripada menghukum perbuatan seseorang.
"Jadi pasalnya bermasalah dan diterapkan bermasalah. Jadi seharusnya dihentikan kasusnya," tambah Nurkholis.
Badan Reserse Kriminal (Bareksrim) Polri telah menaikkan kasus Rocky Gerung dan kawan-kawan (dkk) yang dituduh menghina Presiden Joko Widodo ke tingkat penyidikan. Rocky dkk dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 15 UU No. 1 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur tentang penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran.
Hingga Agustus lalu sudah ada lebih dari 20 laporan polisi terkait Rocky Gerung ke Bareskrim Polri dan sejumlah Polda.
VOA sudah berusaha menghubungi sejumlah juru bicara Mabes Polri terkait kritik dari YLBHI dan kuasa hukum Rocky. Namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari Mabes Polri. [sm/ft]
Forum