Indonesia mengalami krisis tenaga kesehatan akibat pandemi sementara kasus positif Covid-19 terus meningkat. Kementerian Kesehatan telah memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk merekrut tenaga kesehatan secepatnya. Namun, dalam praktiknya upaya itu tidak mudah dijalankan.
Contohnya di Yogyakarta. Kepala Dinas Kesehatan provinsi ini, Pembajun Setyaningastutie menyebut, mereka hanya mampu merekrut sekitar 10 persen dari kebutuhan.
“Kita butuh 238 tenaga kesehatan, yang mendaftar 88 orang, kemudian yang lolos administrasi 63 orang, yang bekerja tinggal 26 orang tenaga kesehatan. Bagaimana ini?” ujarnya prihatin.
Sejak dua bulan yang lalu, Pemerintah DI Yogyakarta sudah membuka perekrutan tenaga kesehatan. Terus naiknya angka positif memaksa rumah sakit menambah tempat tidur layanan khusus Covid-19. Pada saat bersamaan, tenaga kesehatan tambahan dibutuhkan untuk mengoperasikan layanan tambahan itu. Sayangnya, kebijakan darurat Kementerian Kesehatan itu tidak disambut positif tenaga kesehatan baru.
Stigma dan Larangan Orangtua
Pembajun menyebut, salah satu alasan yang dikemukakan mereka yang sudah lolos seleksi tetapi memilih untuk tidak bekerja, adalah izin orang tua. Stigma di masyarakat yang masih kuat, terkait tenaga kesehatan yang bekerja di bagian layanan pasien Covid-19, memaksa para orang tua melarang anaknya.
Padahal, sejak awal perekrutan sudah jelas tertera bahwa tenaga kesehatan yang diterima dalam program ini, khusus untuk perawatan pasien Covid-19. Karena itu, dengan nada heran Pembajun menyesalkan pembatalan kesediaan pada tenaga kesehatan di saat-saat akhir menjelang bekerja itu.
“Kami mau rekrutmen kedua, dan Kemenkes membantu dengan akan menghadirkan relawan nusantara sehat. Kebutuhan kita itu sekian ratus, kita minta yang krusial adalah untuk memenuhi kebutuhan di rumah sakit rujukan,” tambah Pembajun dalam pertemuan dengan media di Yogyakarta, Senin (11/1).
Pembajun merinci, kebutuhan tenaga kesehatan tidak berbanding lurus dengan tambahan tempat tidur yang disediakan. Dia memberi contoh, salah satu rumah sakit di Yogyakarta, saat ini memiliki 72 tempat tidur untuk Covid-19. Mereka berencana mengembangkan ketersediaan hingga 150 tempat tidur.
Sesuai dokumen perencanaan yang disusun, untuk penambahan 78 tempat tidur pasien Covid-19, dibutuhkan total tambahan 223 tenaga kesehatan. Besarnya angka tenaga kesehatan ini karena tenaga kesehatan yang bekerja di bagian ini lebih banyak, dan di sisi lain jam kerja mereka pendek karena harus memakai alat pelindung diri (APD) level 3.
Pada 4 Januari lalu, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto menyebut, pemerintah akan menambah jumlah tenaga kesehatan untuk merawat pasien Covid-19.
"Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menambah tenaga kesehatan. Targetnya 10 ribu orang, utamanya sebanyak 7.900 perawat dari 141 fasilitas kesehatan," kata Airlangga dalam siaran pers daring.
Antrean Pasien IGD
Minimnya tenaga kesehatan, membuat rumah sakit kesulitan menambah tempat tidur layanan, bagi pasien positif Covid-19. Dalam beberapa hari terakhir, beredar luas keluhan sejumlah orang yang kesulitan mencari rujukan bagi anggota keluarganya, yang dinyatakan positif di Yogyakarta.
Dinas Kesehatan Yogyakarta mengaku mengetahui fenomena tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikannya, termasuk koordinasi bagi 27 rumah sakit rujukan. Dalam sejumlah kasus, kata Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes DI Yogyakarta, Yuli Kusumastuti antrean memang bisa terjadi di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
“Mungkin ada kejadian itu pada satu rumah sakit yang penuh, tetapi tidak semua seperti itu. Jadi ada benar-benar yang full, bukan hanya full tempat tidurnya, tetapi sampai pada antrean di IGD,” kata Yuli.
Karena pasien Covid-19 di Instalasi Gawat Darurat (IGD) penuh dan mengantre unit perawatan intensif (Intensive Care Unit/ICU), maka ketika ada ruang kosong, prioritas diberikan kepada mereka yang ada di IGD tersebut. Kondisi semacam ini yang membuat rumah sakit tidak bisa memberikan ruang, kepada pasien baru yang langsung membutuhkan ICU. Dalam banyak kasus, keluarga pasien juga menyebut kondisi ini sebagai penolakan rumah sakit. Kenyataannya, papar Yuli, sebenarnya rumah sakit sudah penuh hingga di bagian IGD.
Ada yang Salah di Yogya
Ketua Komisi A DPRD DI Yogyakarta, Eko Suwanto mengakui, tren kenaikan kasus positif sejak awal November hingga hari ini di Yogyakarta, dalam kondisi tidak bisa direm. Pada akhir Desember, terjadi kenaikan kasus hingga dua kali lipat dari angka awal bulan.
“Artinya ada yang salah di DIY ini. Dan kedua, sistem kesehatan kita ini semakin mendekati titik persimpangan. Ketika tren positif naik, sistem kesehatan tidak mampu terlalu cepat mengimbangi, saya khawatir akan kolaps, seperti yang terjadi di beberapa negara lain,” papar Eko dalam perbincangan daring di Yogyakarta, Senin (11/1).
Eko menilai, kapasitas layanan kesehatan sebenarnya meningkat tetapi tidak secepat yang diharapkan.
DPRD DIY sendiri mendorong peningkatan dukungan anggaran, baik kepada Dinas Kesehatan maupun langsung ke masyarakat. Karena sumber persoalan adalah melonjaknya angka kasus di masyarakat, maka penyelesaiannya bukan pada penambahan kapasitas rumah sakit terus menerus. Konsentrasi justru harus diberikan di tingkat masyarakat.
“Perlu tambahan anggaran di tingkat kampung. Basis pencegahannya itu pada level kampung dan komunitas untuk membangun kesadaran,” imbuh Eko.
Di tingkat lokal, kerja sama pemerintah dan perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran dan keperawatan juga ditingkatkan. Pemerintah menyediakan anggaran, sementara perguruan tinggi mengirimkan mahasiswa yang memenuhi syarat, untuk diperbantukan ke 27 rumah sakit rujukan di Yogyakarta. Kerja sama dengan skema tenaga bantu ini, lanjut Eko, tentu disertai dengan insentif yang memadai. [ns/ab]