UU Teroris Saat Ini Tidak Tegas Cegah Aksi Teror

  • Fathiyah Wardah

Anggota Densus 88 dalam latihan operasi penyergapan. Komnas HAM mengatakan, Densus 88 dan BNPT harus kuat tapi jangan sampai menimbulkan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai Undang-undang teroris yang ada saat ini tidak tegas dalam mencegah terjadinya aksi teror di Indonesia.

Direktur Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Brigadir Jenderal Petrus Golose mengatakan negara harus bertindak lebih pro aktif dalam mencegah aksi teror.

Untuk itu BNPT mengajukan usulan untuk merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Usulan revisi ini terutama untuk mengatur hal-hal yang bisa dianggap sebagai bibit-bibit terorisme. Kelompok atau orang yang menebar kebencian dan permusuhan kata Petrus seharusnya sudah dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan.

Selain itu, pelatihan bergaya militer yang menjadi cikal bakal aksi teror juga mesti diatur didalam Undang-undang Terorisme. Menurut Petrus, pengaturan ini dinilai sebagai tindakan pencegahan terorisme.

BNPT juga mengusulkan agar Undang-Undang Terorisme mengatur hukuman yang lebih berat bagi para pelaku terorisme, namun Petrus tak bisa mematok berapa tahun hukuman yang ideal bagi seorang teroris.

Undang-undang yang akan direvisi ini nanti juga harus mengatur soal masalah deradikalisasi karena penegakan hukum semata tidak menyelesaikan masalah.

Ia mengatakan, "Bagaimana orang bisa segampang-gampangnya di negara kita ini menghasut orang lain, berbeda dengan penghasutan itu didalam KUHAP. Kemudian kita lihat juga tidak ada pertambahan hukuman apabila teroris itu melakukan tindakan pencurian, ini juga perlu menurut saya untuk dimasukan. Kita juga perlu cantumkan counter radikalisasi atau deradikalisasi didalam Undang-undang karena ternyata proses Criminal Justice system sendiri itu tidak menyelesaikan masalah."

Wakil Komisi Hukum DPR Azis Syamsuddin mengungkapkan revisi terhadap Undang-undang terorisme mamang perlu dilakukan.

Revisi perlu dilakukan kata Azis untuk meningkatkan efektifitas tentang penanggulangan tindak pidana terorisme yang saat ini masih marak terjadi.

Revisi tersebut menurut Azis harus menjadi prioritas yang utama.Ia mengatakan, "Mengganggu pertahanan dan keamanan negara, mengganggu stabilitas negara dan itu harus menjadi prioritas yang utama. Maka kita sepakat apabila pemerintah mengajukan itu sebagai skala prioritas untuk membahasUndang-undang ini."

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Yosep Adi Prasetyo menjelaskan aturan soal menebar kebencian itu tidak perlu dimasukan dalam Undang-undang terorisme karena sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Dia khawatir muatan revisi seperti itu berpotensi menimbulkan polemik baru di masyarakat, khususnya penafsiran terhadap kelompok atau orang yang dikategorikan menebar permusuhan.

Dalam melakukan pemberantasan terorisme kata Yosep, Komnas HAM meminta agar tidak terjadi pelanggaran HAM."Kami (Komnas HAM) setuju bahwa Densus 88, BNPT itu memang harus kuat tapi jangan sampai kekuatan itu menimbulkan juga pelanggaran HAM," ujar Yosep.