Pemerintah Turki memberlakukan aturan dan larangan yang ketat terkait konsumsi alkohol, yang menurut pengamat memiliki agenda Islami.
ISTANBUL —
Parlemen Turki telah mengesahkan aturan-aturan baru yang membatasi konsumsi alkohol, termasuk larangan iklan minuman beralkohol serta penggambarannya dalam televisi dan film, serta aturan yang lebih ketat untuk perizinan.
Para kritikus menuduh pemerintah yang berakar kelompok Islamis memaksakan keyakinan mereka di negara tersebut. Pemerintah sendiri menyangkal tuduhan tersebut dengan mengklaim bahwa mereka ingin melindungi anak muda.
Di antara aturan baru yang paling kontroversial adalah larangan penjualan alkohol dalam radius 100 meter dari masjid atau sekolah. Banyak pengamat memperkirakan hal ini akan memberikan konsekuensi besar bagi Istanbul, yang memiliki 6.000 sekolah dan masjid, terutama di distrik-distrik seperti Kadikoy, lokasi banyak bar dan restoran.
Pemilik restoran Ferit Turgut mengawasi pengiriman bir yang mungkin dapat menjadi yang terakhir. Restorannya adalah sebuah "meyhane," yang menawarkan beragam kudapan lezat yang dimakan dengan bir, anggur atau Raki, minuman beralkohol khas Turki. Tradisi ini mendahului pendirian Turki sebagai republik sekuler pada 1923. Namun, menurut Turgut, dengan adanya masjid di ujung jalan, masa depan tampak suram.
"Saya akan harus menutup restoran ini. Tapi bahkan sebelum aturan ini berlaku, dengan kenaikan pajak-pajak untuk alkohol, kami menghadapi kebangkrutan. Mereka ingin melarang alkohol sepenuhnya, namun negara ini memiliki tradisi minum-minum selama berabad-abad," ujarnya.
Raki, yang merupakan minuman favorit Mustafa Kemal Ataturk, pendiri republik sekuler, telah dianggap sebagai minuman nasional sampai Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang relijius mendeklarasikan bahwa ayan, minuman yogurt, akan menggantikan raki.
Undang-undang baru itu juga memberlakukan jam malam untuk penjualan di toko antara pukul 10 malam sampai pukul 6 pagi.
Aturan baru tersebut telah memicu badai kontroversi. Perdana Menteri dituduh memiliki agenda agama, namun Erdogan mengklaim bahwa agenda kesehatanlah yang mendorong kebijakan itu.
"Ada aturan semacam itu di mana pun di dunia," ujarnya, menambahkan bahwa anak muda di negara itu harus dilindungi dari kebiasaan buruk.
"Kami tidak menginginkan sebuah generasi yang berkeliaran mabuk siang malam."
Namun Kadri Gursel, kolumnis surat kabar Milliyet, mengatakan bahwa argumen itu tidak jujur. Ia mengklaim bahwa di bawah pemerintahan Erdogan dalam 10 tahun terakhir, alkohol secara sistematis dihapuskan dari Turki.
"Ada pertentangan di Turki seputar alkohol. Daerah-daerah tempat seseorang dapat menikmati segelas anggur telah berkurang secara konstan setiap tahun. Anatolia (daratan Turki) bagian dalam merupakan daerah bebas alkohol dan agendanya adalah konservatif agama. Ini tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap alkoholisme, karena tidak ada masalah sosial terkait alkohol di Turki," ujar Gursel.
Konsumsi alkohol di Turki adalah yang terendah di Eropa. Sejak Perdana Menteri Erdogan menjabat, tingkat pajak untuk alkohol melonjak dari yang terendah di dunia menjadi yang tertinggi, yaitu mencapai 100 persen. Pemerintah telah memperingatkan adanya kenaikan lebih jauh.
Namun Erdogan minggu ini mengecilkan kekhawatiran-kekhawatiran mengenai larangan itu dengan mengatakan bahwa orang-orang bebas minum di rumah.
Atilla Yesilada, analis pada perusahaan konsultasi politik Global Source Partners, mengatakan politik elektoral dapat menjelaskan larangan-larangan tersebut.
"Ini undang-undang yang sangat kontroversial. Larangan atau pembatasan penjualan alkohol merupakan puncak gunung es. Begitu kita mendekati pemilihan umum, kita akan melihat lebih banyak aturan yang menarik pemilih konservatif. Akan seperti itu situasinya," ujar Yesilada.
Para pengamat memperingatkan bahwa debat keras mengenai alkohol menunjukkan betapa terpolarisasinya Turki, polarisasi yang diperkirakan akan lebih dalam menjelang pemilihan umum tahun depan.
Para kritikus menuduh pemerintah yang berakar kelompok Islamis memaksakan keyakinan mereka di negara tersebut. Pemerintah sendiri menyangkal tuduhan tersebut dengan mengklaim bahwa mereka ingin melindungi anak muda.
Di antara aturan baru yang paling kontroversial adalah larangan penjualan alkohol dalam radius 100 meter dari masjid atau sekolah. Banyak pengamat memperkirakan hal ini akan memberikan konsekuensi besar bagi Istanbul, yang memiliki 6.000 sekolah dan masjid, terutama di distrik-distrik seperti Kadikoy, lokasi banyak bar dan restoran.
Pemilik restoran Ferit Turgut mengawasi pengiriman bir yang mungkin dapat menjadi yang terakhir. Restorannya adalah sebuah "meyhane," yang menawarkan beragam kudapan lezat yang dimakan dengan bir, anggur atau Raki, minuman beralkohol khas Turki. Tradisi ini mendahului pendirian Turki sebagai republik sekuler pada 1923. Namun, menurut Turgut, dengan adanya masjid di ujung jalan, masa depan tampak suram.
"Saya akan harus menutup restoran ini. Tapi bahkan sebelum aturan ini berlaku, dengan kenaikan pajak-pajak untuk alkohol, kami menghadapi kebangkrutan. Mereka ingin melarang alkohol sepenuhnya, namun negara ini memiliki tradisi minum-minum selama berabad-abad," ujarnya.
Raki, yang merupakan minuman favorit Mustafa Kemal Ataturk, pendiri republik sekuler, telah dianggap sebagai minuman nasional sampai Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang relijius mendeklarasikan bahwa ayan, minuman yogurt, akan menggantikan raki.
Undang-undang baru itu juga memberlakukan jam malam untuk penjualan di toko antara pukul 10 malam sampai pukul 6 pagi.
Aturan baru tersebut telah memicu badai kontroversi. Perdana Menteri dituduh memiliki agenda agama, namun Erdogan mengklaim bahwa agenda kesehatanlah yang mendorong kebijakan itu.
"Ada aturan semacam itu di mana pun di dunia," ujarnya, menambahkan bahwa anak muda di negara itu harus dilindungi dari kebiasaan buruk.
"Kami tidak menginginkan sebuah generasi yang berkeliaran mabuk siang malam."
Namun Kadri Gursel, kolumnis surat kabar Milliyet, mengatakan bahwa argumen itu tidak jujur. Ia mengklaim bahwa di bawah pemerintahan Erdogan dalam 10 tahun terakhir, alkohol secara sistematis dihapuskan dari Turki.
"Ada pertentangan di Turki seputar alkohol. Daerah-daerah tempat seseorang dapat menikmati segelas anggur telah berkurang secara konstan setiap tahun. Anatolia (daratan Turki) bagian dalam merupakan daerah bebas alkohol dan agendanya adalah konservatif agama. Ini tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap alkoholisme, karena tidak ada masalah sosial terkait alkohol di Turki," ujar Gursel.
Konsumsi alkohol di Turki adalah yang terendah di Eropa. Sejak Perdana Menteri Erdogan menjabat, tingkat pajak untuk alkohol melonjak dari yang terendah di dunia menjadi yang tertinggi, yaitu mencapai 100 persen. Pemerintah telah memperingatkan adanya kenaikan lebih jauh.
Namun Erdogan minggu ini mengecilkan kekhawatiran-kekhawatiran mengenai larangan itu dengan mengatakan bahwa orang-orang bebas minum di rumah.
Atilla Yesilada, analis pada perusahaan konsultasi politik Global Source Partners, mengatakan politik elektoral dapat menjelaskan larangan-larangan tersebut.
"Ini undang-undang yang sangat kontroversial. Larangan atau pembatasan penjualan alkohol merupakan puncak gunung es. Begitu kita mendekati pemilihan umum, kita akan melihat lebih banyak aturan yang menarik pemilih konservatif. Akan seperti itu situasinya," ujar Yesilada.
Para pengamat memperingatkan bahwa debat keras mengenai alkohol menunjukkan betapa terpolarisasinya Turki, polarisasi yang diperkirakan akan lebih dalam menjelang pemilihan umum tahun depan.