Agni adalah api, semangat yang menyala dari perempuan korban kekerasan seksual untuk membela haknya. Jika kemudian dia memilih untuk berjuang di luar pengadilan, semata adalah karena lemahnya dukungan negara bagi korban seperti dirinya.
Karena itu, tim pendamping Agni tak pernah mau menyatakan bahwa kasus ini berakhir dengan perdamaian. Kata “damai” memicu anggapan bahwa Agni menyerah dengan perjuangannya. Ini terkesan menegasikan perjuangan Agni demi kebenaran dan keadilan bagi dirinya. Akibatnya, perubahan yang dicapai Agni dan gerakannya selama 1,5 tahun, seolah tak membuahkan hasil,” kata Suharti, Direktur Rifka Annisa, lembaga yang mendampingi Agni selama ini.
Apa yang terjadi dalam kasus Agni bukan kesepakatan damai, tetapi penyelesaian non-litigasi. Menurut Suharti, pertimbangan utama memilih penyelesaian non-litigasi adalah kondisi psikis Agni. Perkembangan kasus hukum, penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pemeriksaan saksi-saksi, dan permintaan visum et repertum dari polisi menjadi tekanan bagi mahasiswi itu. Pihak Agni menolak visum et repertum, sebab bekas luka fisik sudah hilang seiring waktu. Di sisi lain, permintaan visum psychiatricum untuk melihat kondisi psikis Agni justru diabaikan.
Suharti menambahkan, fokus mereka adalah apa pilihan korban dan rasa keadilan bagi korban. Bukan jalur hukum, keadilan yang diinginkan Agni adalah tindakan UGM memenuhi tuntutannya sebagai korban.
“Kami sebetulnya berharap dari kasus ini akan menjadi edukasi bagi masyarakat, bahwa dalam banyak kasus kekerasan seksual kepada perempuan, suara korban itu menjadi penting sekali untuk didengarkan dan keadilan bagi korban, di selain aspek hukum, itu juga menjadi penting untuk diperjuangkan dan dipenuhi. Itu yang selama ini tidak ada dalam mekanisme kebijakan, undang-undang kita tidak mengatur itu,” kata Suharti.
Agni dan RUU PKS
Salah satu yang sangat penting dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) bagi korban kekerasan seksual seperti Agni adalah definisi pemerkosaan. “Jika RUU PKS sudah disahkan, mungkin akhir dari kasus ini akan berbeda,” kata pengacara Agni, Catur Udi Handayani kepada VOA.
Catur bercerita, tim hukum baru mendampingi Agni setelah kasus ini berjalan berbulan-bulan. Di tengah proses itu, perjuangan yang bisa dilakukan tidak maksimal. Di sisi yang lain, UGM sendiri membentuk Komite Etik untuk menelusur kasus tersebut.
Menurut catatan tim hukum pendamping Agni, pada 21 Januari 2019, Agni menerima informasi hasil kerja Komite Etik. Dari 7 anggota Komite Etik bentukan UGM, 4 orang menyatakan tidak ada pelecehan seksual. Keempat orang itu justru menyatakan yang terjadi adalah perbuatan asusila. Mereka juga menolak mengkategorikan tindakan pelaku sebagai pelanggaran sedang atau berat. Hanya dua anggota Komite Etik menyatakan kasus itu pelecehan seksual dan pelanggaran berat.
“Pernyataan bahwa yang terjadi adalah tindak asusila sangat melukai rasa keadilan Agni. Sejak awal, Agni telah mendengar dari Komite Etik bahwa penyelesaian yang ditempuh berperspektif dan berkeadilan gender. Namun kesimpulan tindak asusila itu hanya mempertegas budaya victim blaming,” kata Sukiratnasari, anggota tim pendamping Agni.
Polisi sendiri masih terus mengusut kasus ini. Dari pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo, nampaknya kesimpulan polisi tidak jauh berbeda dengan Komite Etik UGM.
“Indikasi tidak ada perkosaan dan pencabulan sangat kuat, dari seluruh alat bukti yang kami miliki. Maka, itu yang akan saya sampaikan ke publik. Saya tidak mau bohong ke publik, bahwa diduga ada pemerkosaan, damai, kemudian berhenti. Anggapannya ada pemerkosaan, itu saya tidak mau. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang peristiwa apa yang terjadi. Tidak ada goreng menggoreng, orang diduga melakukan pemerkosaan tetapi faktanya bukan pemerkosaan,” kata Hadi Utomo, Rabu (6/2).
Kesimpulan ini sudah diantisipasi tim pendamping Agni. Mereka menggarisbawahi adanya perbedaan definisi pemerkosaan dalam laporan media Balairung dan polisi. Balairung berpedoman pada definisi menurut Komnas Perempuan, sedangkan polisi memakai Pasal 285 KUHP. Dalam konteks inilah, RUU PKS semakin penting untuk segera disahkan.
Agni: Nyala Api Baru
Penyelesaian non-litigasi bukan sebuah kekalahan, ini adalah pilihan yang secara sadar diambil oleh korban. Sama pentingnya dengan menghukum pelaku, adalah memenuhi hak-hak korban secara adil.
“Ini menjadi bagian yang sedang kita perjuangkan dalam RUU PKS, yaitu ada mekanisme pemulihan dan pemenuhan hak-hak lain bagi korban, selain hukuman bagi pelaku,” kata Suharti, Direktur Rifka Annisa.
Your browser doesn’t support HTML5
Fokus mereka, kata Suharti, adalah pemenuhan keadilan dari perspektif perempuan korban kekerasan. Langkah itu dilakukan dengan edukasi terus menerus bagi korban, bahwa mereka memiliki hak menempuh jalur hukum dan hak memperoleh pemulihan dalam penyelesaian kasus.
Korban kekerasan seksual adalah penentu langkah penyelesaian. Menurut Suharti, dalam kasus berbeda, bagi korban yang ingin menempuh jalur hukum, lembaganya selalu siap mendampingi. “Jangan lelah, dan jangan takut bahwa kasus itu akan berhenti. Karena ada banyak cara dan dukungan yang bisa kita lakukan."
Catur Udi Handayani memastikan bahwa Agni sudah memperoleh seluruh informasi yang dia butuhkan sebelum mengambil keputusan. “Ini adalah penyelesaian berperspektif korban. Kita memberikan seluruh informasi kepada Agni, dari sisi hukum dan hak-hak dia. Setelah dia memahami semua itu, barulah mengambil kesimpulan secara mandiri,” ujar Catur.
Pertemuan dengan UGM, dan tentu saja pelaku, pada Senin (4/2) lalu, juga diputuskan sendiri oleh Agni. Sukiratnasasi, anggota tim pendamping bercerita kepada VOA, Agni diberi keleluasaan untuk memilih, apakah akan hadir atau tidak, dan dia memilih datang. Menurut perempuan yang akrab dipanggil Kiki itu, pilihan selalu ada di pihak korban. Tidak ada paksaan dalam hal ini.
“Kami sudah meminta persetujuan Agni, kondisinya akan seperti ini. Karena nanti di dalam draft klausulnya itu ada permintaan maaf. Agni sempat tanya, apakah kita ketemu dengan HS. Saya jawab, sepertinya akan ketemu, karena di salah satu klausul itu permintaan maaf HS kepadamu,” jelas Sukiratnasari.
Pilihan Agni untuk bertemu langsung dengan HS, mungkin menjadi salah satu tanda betapa kuat Agni sebagai korban. Hampir dua tahun dia berjuang memperoleh hak-haknya, dan kini sebagian besar yang dia tuntut dipenuhi oleh UGM. Hanya satu tuntutan Agni yang tidak dikabulkan, yaitu agar pelaku dikeluarkan dari kampus.
Agni tidak hanya mengubah sudut pandang banyak orang tentang kasus pemerkosaan. Agni juga berjasa besar membangun fondasi bagi kampusnya sendiri agar lebih peduli pada kasus kekerasan seksual. Fisipol, fakultas tempat Agni kuliah, telah menyusun mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. UGM sendiri sedang dalam proses untuk hal ini. Kampus juga akan memberi pembekalan kepada mahasiswa, khusus untuk meningkatkan pemahaman tentang kekerasan seksual.
BACA JUGA: Tutup Tirai Drama Dugaan Perkosaan Kampus UGMKewajiban bagi pelaku untuk menjalani mandatory counseling juga menjadi langkah maju. Di samping itu, kesediaan UGM untuk memberikan beasiswa bagi penyelesaian studi Agni, membuktikan jika korban kekerasan seksual berjuang, maka dia akan memperoleh haknya.
Korban kekerasan seksual harus seperti Agni. Menyala seperti api, bukan padam dan menyerah. [ns/ab]