Kasus pembunuhan wartawan Yogyakarta, Fuad Muhammad Sjafruddin, akan kadaluarsa pada Agustus 2014.
JAKARTA —
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Eko Maryadi mengatakan, polisi harus mengusut tuntas kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas Yogya, Fuad Muhammad Sjafruddin atau Udin, yang kasusnya akan kadaluarsa pada Agustus 2014.
Sesuai Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) kasus Udin akan kadaluarsa apabila berusia 18 tahun.
Dalam jumpa pers di kantornya, Senin (23/12), Eko mengatakan penuntasan kasus Udin ini penting preseden pengungkapan kasus-kasus pembunuhan lain yang menimpa wartawan Indonesia.
Eko mengatakan jika kasus Udin yang pernah diusut polisi diabaikan hingga kadaluarsa pada 2014, maka kasus pembunuhan lainnya tinggal menunggu waktu untuk dilupakan.
Jika ini terjadi, lanjutnya, maka polisi ikut menyumbang terjadinya praktik impunitas di Indonesia dan itu mencoreng kewibawaan polisi sebagai aparat hukum.
“AJI melihat bahwa penyidikan dan juga penuntutan kasus ini sejak awal sudah salah arah. Oleh karena itu AJI meminta kepada aparat kepolisian untuk bersungguh-sungguh menuntaskan kasus pembunuhan Udin," ujarnya.
Fuad Muhammad Syafrudin, wartawan surat kabar harian Bernas, meninggal pada 16 Agustus 1996, tiga hari setelah dipukul pada bagian kepala oleh orang tak dikenal, yang diduga terkait dengan pemberitaan Udin yang kritis terhadap pemerintah kota Bantul. Kepolisian pernah melakukan skenario dengan membawa pelaku palsu, tetapi kemudian dibebaskan pengadilan karena rekayasanya terbongkar.
Selain Udin, AJI mencatat bahwa sejak 1996, ada delapan kasus yang menimpa jurnalis yang tetap tidak terungkap, diantaranya Naimullah, wartawan harian Sinar Pagi yang ditemukan tewas di Pantai Penimbungan, Kalimantan Barat pada 1997, dan Alfred Mirulewan, jurnalis Tabloid Pelangi yang tewas di Kabupaten Maluku Barat Daya.
Catatan akhir tahun AJI Indonesia menyebutkan bahwa sepanjang 2013 ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan kantor media. Jumlah ini menurun dibanding 2012 sebanyak 51 kasus kekerasan.
Eko mengatakan kegiatan pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah menyumbang terjadinya kekerasan, dimana massa pendukung kandidat yang kalah menumpahkan kemarahan dengan menyerang jurnalis atau merusak kantor media.
Meskipun kasus kekerasan menurun, kata Maryadi, tetapi kebebasan pers di Indonesia belum sepenuhnya baik karena masih ada pembatasan liputan di wilayah-wilayah tertentu seperti Papua dan Poso, terutama untuk media asing, dan juga aturan pencemaran nama baik.
“AJI meminta pemerintah agar jangan setengah-setengah dalam menerapkan kebebasan pers. Jangan takut pada kebebasan pers tetapi takutlah dengan korupsi, penyelewengan kekuasaan. Kebebasan pers itu akan sejalan dengan demokrasi, kesejahteraan rakyat dan ini adalah salah satu cara kita mencapai kebebasan dan kesejahteraan yang sesungguhnya,” ujarnya.
“Jadi, negara yang masih membatasi kebebasan pers dan itu akan mirip dengan negara-negara komunis, seperti negara-negara yang tidak menyukai wartawan, kebebasan pers sehingga cenderung tertutup dan cenderung melakukan penyelewengan yang tidak diketahui publik.”
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan polisi sangat serius menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis termasuk kasus pembunuhan wartawan.
“Jadi jika fakta-faktanya mengarah kepada pelaku dan sebagainya pasti akan cepat terungkap,hanya saja banyak juga yang info-info tersebut tidak mudah diperoleh,” ujarnya.
Sesuai Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) kasus Udin akan kadaluarsa apabila berusia 18 tahun.
Dalam jumpa pers di kantornya, Senin (23/12), Eko mengatakan penuntasan kasus Udin ini penting preseden pengungkapan kasus-kasus pembunuhan lain yang menimpa wartawan Indonesia.
Eko mengatakan jika kasus Udin yang pernah diusut polisi diabaikan hingga kadaluarsa pada 2014, maka kasus pembunuhan lainnya tinggal menunggu waktu untuk dilupakan.
Jika ini terjadi, lanjutnya, maka polisi ikut menyumbang terjadinya praktik impunitas di Indonesia dan itu mencoreng kewibawaan polisi sebagai aparat hukum.
“AJI melihat bahwa penyidikan dan juga penuntutan kasus ini sejak awal sudah salah arah. Oleh karena itu AJI meminta kepada aparat kepolisian untuk bersungguh-sungguh menuntaskan kasus pembunuhan Udin," ujarnya.
Fuad Muhammad Syafrudin, wartawan surat kabar harian Bernas, meninggal pada 16 Agustus 1996, tiga hari setelah dipukul pada bagian kepala oleh orang tak dikenal, yang diduga terkait dengan pemberitaan Udin yang kritis terhadap pemerintah kota Bantul. Kepolisian pernah melakukan skenario dengan membawa pelaku palsu, tetapi kemudian dibebaskan pengadilan karena rekayasanya terbongkar.
Selain Udin, AJI mencatat bahwa sejak 1996, ada delapan kasus yang menimpa jurnalis yang tetap tidak terungkap, diantaranya Naimullah, wartawan harian Sinar Pagi yang ditemukan tewas di Pantai Penimbungan, Kalimantan Barat pada 1997, dan Alfred Mirulewan, jurnalis Tabloid Pelangi yang tewas di Kabupaten Maluku Barat Daya.
Catatan akhir tahun AJI Indonesia menyebutkan bahwa sepanjang 2013 ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan kantor media. Jumlah ini menurun dibanding 2012 sebanyak 51 kasus kekerasan.
Eko mengatakan kegiatan pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah menyumbang terjadinya kekerasan, dimana massa pendukung kandidat yang kalah menumpahkan kemarahan dengan menyerang jurnalis atau merusak kantor media.
Meskipun kasus kekerasan menurun, kata Maryadi, tetapi kebebasan pers di Indonesia belum sepenuhnya baik karena masih ada pembatasan liputan di wilayah-wilayah tertentu seperti Papua dan Poso, terutama untuk media asing, dan juga aturan pencemaran nama baik.
“AJI meminta pemerintah agar jangan setengah-setengah dalam menerapkan kebebasan pers. Jangan takut pada kebebasan pers tetapi takutlah dengan korupsi, penyelewengan kekuasaan. Kebebasan pers itu akan sejalan dengan demokrasi, kesejahteraan rakyat dan ini adalah salah satu cara kita mencapai kebebasan dan kesejahteraan yang sesungguhnya,” ujarnya.
“Jadi, negara yang masih membatasi kebebasan pers dan itu akan mirip dengan negara-negara komunis, seperti negara-negara yang tidak menyukai wartawan, kebebasan pers sehingga cenderung tertutup dan cenderung melakukan penyelewengan yang tidak diketahui publik.”
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan polisi sangat serius menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis termasuk kasus pembunuhan wartawan.
“Jadi jika fakta-faktanya mengarah kepada pelaku dan sebagainya pasti akan cepat terungkap,hanya saja banyak juga yang info-info tersebut tidak mudah diperoleh,” ujarnya.