Aktivis dan Wartawan Lirik Pesawat Tak Berawak untuk Ungkap Pelanggaran

  • Nico Colombant

Pesawat tak berawak seperti ini bisa juga dimanfaatkan untuk hal-hal positif seperti mengungkapkan berbagai pelanggaran HAM atau pelanggaran lingkungan (foto: dok).

Para aktivis HAM, kelompok-kelompok lingkungan dan wartawan kian mengalihkan perhatian mereka kepada pesawat-pesawat tak berawak untuk mengungkap berbagai kasus pelanggaran.

Wartawan VOA Nico Colombant di Washington melaporkan tentang bagaimana pesawat-pesawat terbang tak berawak itu digunakan bukan saja oleh pemerintah negara-negara untuk misi pengintaian dan melancarkan serangan militer.

Sebuah video YouTube baru-baru ini menunjukkan sebuah pesawat miniatur helikopter yang disebut RoboKopter, dilengkapi dengan kamera video, terbang di atas gelombang demonstran dan polisi anti huru-hara Polandia di Warsawa.

Sebuah situs Internet bernama Future Journalism Project menggarisbawahi peliputan ini. Situs itu juga menyebut sebuah laboratorium eksperimen di Universitas Nebraska-Lincoln yang meneliti berbagai kemungkinan dari apa yang disebut "drone journalism" – atau jurnalisme pesawat tak berawak, dengan mengirim kamera-kamera terbang dengan alat GPS untuk meliput berbagai peristiwa penting dan menangkap gambar-gambar video yang disukai para pemirsa.

"Sewaktu mendekati armada pencari ikan paus yang beroperasi secara ilegal, harap waspada, karena acapkali mereka dipersenjatai dengan granat sinar, senjata suara sonic, meriam-meriam air, bahkan tombak." (dari video: Sea Shepherd Conservation Society).

Di situsnya, organisasi “Sea Shepherd Conservation Society” merinci sebagian strategi mereka untuk menhadapi armada gelap pencari ikan paus itu. Ini tampaknya mencakup penggunaan pesawat-pesawat tak berawak, yang kata kelompok-kelompok aktivis, mereka gunakan Desember lalu untuk memantau laut-laut di Hemisfer Selatan.

Andrew Stobo Sniderman, salah seorang pendiri “Genocide Intervention Network,” baru-baru ini menulis sebuah artikel yang diterbitkan koran The New York Times dengan jusul "Drones for Human Rights."

Aktivis HAM itu mengemukakan, banyak yang diperoleh dari informasi yang didapat dari kamera-kamera terbang itu tentang berbagai zona konflik seperti Suriah atau bagian timur Republik Demokratik Kongo.

Menurut Sniderman, kamera-kamera terbang tadi berharga puluhan ribu dolar, sementara jenis komersial yang lebih canggih berharga ratusan ribu dolar. Kamera lebih canggih ini biasa dimiliki oleh organisasi-organisasi HAM yang lebih besar.

Tetapi, sewaktu kamera terbang itu melanggar wilayah angkasa sebuah negara, jenis pengumpulan informasi semacam ini menjadi ilegal. Hal ini juga mengakibatkan kekhawatiran banyak pihak akan sebuah kemungkinan di mana kita tidak tahu apakah sedang diawasi. Tetapi Sniderman menegaskan bahwa tujuan yang baik membenarkan pemonitoran HAM dengan kamera-kamera terbang itu.

"Teknologi dapat digunakan untuk tujuan baik dan buruk, dan menurut kami, kelompok-kelompok HAM mesti mempertimbangkan tentang bagaimana menggunakan teknologi baru ini untuk membantu mendokumentasikan berbagai pelanggaran. Organisasi-organisasi HAM telah menyalahkan praktek terbang ini. Persoalannya adalah dapatkah kita menggunakan kamera-kamera ini secara lebih baik daripada yang dilakukan sekarang," ujar Sniderman.

Sniderman menambahkan, gambar-gambar video pelanggaran HAM yang dipotret oleh pesawat tak berawak dan tidak dapat diperoleh melalui cara lain, mungkin mengakibatkan tanggapan yang lebih efektif tentang apa yang sedang terjadi.