Kerusakan alam dan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini, menjadi bukti adanya ketidakpedulian manusia pada tempat hidupnya. Bumi beserta isinya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidup, bukan sebagai tempat hidup yang harus dijaga kelestariannya. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi mengenai Perempuan-perempuan Pejuang Lingkungan, di Malang, Jawa Timur.
Menurut mahasiswa aktivis lingkungan, Dwiyana Anela Kurniasari, keserakahan manusia merupakan penyebab utama kerusakan alam selama ini, yang tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tapi juga menimbulkan kerugian bagi manusia yang tinggal di sekitarnya.
“Keserakahan kalau saya bilang. Tadi ada yang bilang bahwa ibu kita, ibu bumi ini sudah memberikan banyak sekali manfaat untuk kita, apalagi oksigen gratis, gratis tanpa bayar. Tapi kita sebagai manusia, wajar memang kita serakah ingin lebih, seperti orang-orang di sekitar desa saya itu (dekat kawasan hutan jati di Rembang, Jawa Tengah), tapi gara-gara serakah akhirnya sampai batang-batang yang besar itu diambil. Akhirnya apa, sekarang terjadi hutan gundul. Yang sangat terasa sekarang itu adalah kekurangan air di tempat saya. Saya berada di lingkungan hutan, tapi ketika musim kemarau di tempat kami terjadi kekeringan,” kata Dwiyana Anela Kurniasari.
Dwiyana Anela mengatakan, kepedulian manusia terhadap lingkungan harus terus diperjuangkan, terutama dari lingkungan terdekat yaitu keluarga. Upaya pelestarian lingkungan harus dilakukan dari tindakan terkecil seperti menanam dan merawat pohon.
“Kalau impian saya itu setiap orang yang pertama itu mau menanam, mau menanam kemudian mau menjaga. Nah itu, dari keluarga saya pun dari embah sampai bapak saya itu mengajarkan kita untuk menanam, bukan hanya menanam saja tapi juga merawat. Nah, harapan saya apalagi generasi millennial seperti saya paling tidak kita mau menanam dan mau merawat. Kalau sekarang kan banyak sekali reboisasi-reboisasi, tapi tidak dirawat,” lanjutnya.
Perempuan juga dapat menjadi garda terdepan dan pelopor dalam upaya memperjuangkan lingkungan hidup yang lestari dan seimbang. Perjuangan perempuan asal Malang, Sulistyorini, pendiri Komunitas Zona Bening, merupakan contoh nyata. Ia aktif dalam gerakan edukasi dan penanganan sampah. Ia mencoba menggerakan masyarakat untuk berusaha mengurangi sampah.
“Hampir tidak ada orang yang tidak menjadi produsen sampah, tapi permasalahannya adalah ada sebuah pola yang sedikit keliru ketika orang banyak memikirkan daur ulangnya duluan, kenapa tidak mengurangi duluan, itu yang harus dipikirkan," kata Sulistyorini.
"Program pemerintah seberapa bagusnya, tapi kalau di rumah itu tidak ada pemilahan ya kurang maksimal. Jadi syarat apa pun antara pemerintah dengan masyarakat memang harus saling berkolaborasi, syarat utamanya adalah memang harus ada pemilahan, pemilahan harga mati itu dulu,” jelasnya.
Kristien Yuliarti dari Komunitas Omah Hijau menuturkan gerakan sadar lingkungan yang digagasnya, mengajak masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup ramah lingkungan.
Pemakaian produk-produk rumah tangga seperti sabun cuci piring, sabun cuci baju, hingga sabun mandi, tidak disadari menjadi penyumbang polusi atau limbah pada sungai. Pemakaian buah klerek sebagai pengganti sabun, menjadi pilihan ramah lingkungan yang terus ditawarkan kepada masyarakat yang peduli pada lingkungan.
“Klerek iya, dia menimbulkan busa, tapi karena dia bukan busa yang kemudian sintetis dan bukan mengandung paraben dan yang lainnya, dia cepat terurai, karena saya pernah ngajak anak-anak, edukasi ke anak-anak membandingkan busa dari deterjen itu sulit terurai, sementara kalau dari klerek dia kemudian lama-lama menjadi bening, jadi tidak akan mencemari air,” kata Kristien Yuliarti.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, salah satu pendiri PROFAUNA Indonesia, Made Astuti, menjadi perempuan yang aktif dalam upaya pelestarian lingkungan, khususnya hutan dan satwa liar. Made Astuti aktif mengajak generasi muda, terutama mahasiswa untuk mengenal lingkungannya, melalui pengamatan langsung di hutan.
Menurut Made Astuti, kecintaan terhadap lingkungan beserta satwa di dalamnya hanya bisa ditanamkan bila generasi muda memahami persoalan-persoalan yang terjadi dengan melihat dan mengalaminya secara langsung.
“Kalau saya sendiri sih memang orang lapangan ya, jadi saya lebih sering pelatihan untuk pengamatan satwa di alam. Jadi kita ajak mereka ke alam supaya bisa lihat, oh ternyata itu binatang A, binatang B, itu perilakunya seperti ini, makanannya ini, ternyata bagus, ya itu yang kita selalu dorong, karena kalau tak kenal kan tak sayang, (akhirnya) banyak yang lanjut, mereka juga banyak suporter PROFAUNA itu mendirikan organisasi lain yang juga bergerak di bidang lingkungan,” kata Made Astuti. [pr/ab]