Gelombang protes dari berbagai kelompok masyarakat menolak gagasan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diusulkan oleh gabungan partai Koalisi Merah Putih dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada), terus bermunculan di berbagai daerah.
Puluhan aktivis pro demokrasi yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada, melakukan aksi demonstrasi di seberang Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta, Selasa (16/9).
Anis Hidayah, aktivis Migrant Care dalam orasinya memastikan pemilihan kepala daerah oleh anggota dewan akan mencederai sistim demokrasi yang saat ini sudah berjalan dengan baik.
"Kawan-kawan, Demokrasi yang kita cita-citakan adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Ketika RUU Pilkada disahkan kita bisa membayangkan bahwa demokrasi akan menjadi dari partai oleh DPRD dan akan kembali ke partai. Sehingga kawan-kawan, RUU ini akan mengancam yang pertama adalah membunuh Demokrasi," kata Anis Hidayah.
Your browser doesn’t support HTML5
Anis Hidayah menambahkan, pengesahan RUU Pilkada ini akan mengembalikan Indonesia ke masa Orde Baru. Aksi penolakan gagasan Pilkada dilakukan oleh anggota dewan di DPRD menurut Anis, akan terus berlangsung di berbagai daerah.
Aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Donald Fariz yang juga turut serta dalam aksi ini menjelaskan, Koalisi Kawal RUU Pilkada dalam aksi ini menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Presiden dapat mendengar aspirasi rakyat yang menginginkan mekanisme Pilkada dapat dipilih langsung oleh rakyat.
"Kita menyerahkan surat terbuka kepada Presiden SBY. Mengingat Presiden bahwa beliau adalah Presiden yang pertama kali menumbuhkan demokrasi pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat melalui UU no 32 tahun 2004. Demokrasi melalui pemilihan kepala daerah tumbuh di era beliau, jangan dimatikan di akhir periode," kata Donald Fariz.
Ahli hukum tata negara, Refly Harun berpendapat, Presiden SBY mempunyai hak untuk mem-veto RUU Pilkada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hak veto itu menurut Refly bisa dilakukan oleh Presiden sebelum RUU Pilkada itu disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 25 September mendatang.
"Sebenarnya kuncinya bukan di Menteri Dalam Negeri, kuncinya ada di Presiden. Mendagri kan cuma alat Presiden. Presiden yang menentukan. Presiden bilang tidak setuju, ya itu garis politiknya. Presiden bisa melakukan veto (pembahasan RUU Pilkada). Tapi veto-nya harus dilakukan sebelum paripurna. Karena kalau setelah paripurna maka dia akan menjadi undang-undang walau tidak ditanda tangani (oleh Presiden)," kata Refly.
"Pasal 20 ayat 2 dan 3 UUD 45 mengatakan bahwa, setiap undang-undang dibahas bersama Presiden dan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama. Jika suatu rancangan undang-undang tidak disetujui maka RUU itu tidak bisa diajukan di masa persidangan periode itu," lanjutnya.
Aksi penolakan terhadap RUU Pilkada oleh DPRD, terus meluas ke berbagai daerah diIndonesia. Selain Jakarta, aksi juga berlangsung di Aceh, Bandung, Semarang dan Makassar.
Sebelumnya beberapa kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), juga menyerukan agar proses pembahasan RUU Pilkada di DPR RI dihentikan, dan tetap menginginkan agar mekanisme Pilkada dilakukan langsung oleh rakyat.
Langkah kongkrit penolakan dari para kepala daerah ini, dilakukan oleh wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama yang menyatakan diri keluar dari Partai Gerindra karena Gerindra mendukung Pilkada oleh DPRD. Langkah serupa dilakukan oleh Wali Kota Singkawang Awang Ishak yang menyatakan mundur dari Partai Amanat Nasional.
Revisi RUU Pilkada rencananya akan disahkan pada Kamis, 25 September mendatang. Di dalam pasalnya terdapat perubahan, yaitu pemilihan kepala daerah yang sebelumnya dipilih secara langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD.