Aktivis mengatakan buruh perempuan di Indonesia hingga saat ini masih terus mendapatkan diskriminasi dan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja.
JAKARTA —
Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik, Jumisih, di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jumat (25/10) mengatakan, buruh perempuan di Indonesia hingga saat ini masih terus mendapatkan diskriminasi dan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja.
Para buruh perempuan lanjutnya kerap disuruh bekerja melebihi jam kerja yang telah ditentukan tanpa mendapatkan uang lembur, padahal Undang-udang No.13/2003 menyatakan bahwa jam kerja buruh adalah delapan jam.
Dalam hal reproduksi seperti cuti haid dan cuti melahirkan contohnya, Jumisih mengatakan banyak perusahaan yang mengabaikannya. Sekarang ini, lanjutnya, perusahaan banyak yang menghilangkan adanya cuti haid bagi buruh perempuan.
Perusahaan, menurut Jumisih, banyak yang memberhentikan buruh perempuan yang hamil dengan alasan yang mengada-ada karena tidak mau menanggung biaya persalinan.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, buruh perempuan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual karena buruh perempuan masih dianggap kelas nomor dua dalam industri sehingga kerap diperlakukan tidak nyaman oleh atasan-atasannya.
Berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya di basis-basis pabrik, lanjut Jumisih, hampir semua buruh perempuan pernah mengalami pelecehan seksual.
"Semua buruh perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja, entah dilakukan oleh atasan atau personalia," ujar Jurnisih.
"Ada buruh perempuan yang sampai dibopong oleh atasannya, dibawa ke ruang tertentu untuk dicium-ciumi. Ada buruh perempuan yang sampai melakban bajunya karena saking seringnya terjadi pelecehan seksual. Buruh perempuah masuk ke WC diikuti."
Selain itu, gaji buruh perempuan, menurut Jumisih, lebih rendah dibanding buruh laki-laki. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 17-22 persen.
Dengan kondisi tersebut, tambah Jumisih, pemerintah tidak melindungi. Jumisih mengatakan buruh perempuan juga mendukung rencana aksi mogok nasional yang akan dilakukan buruh pada tanggal 31 Oktober hingga 1 November.
Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut agar upah buruh naik minimal 50 persen.Menurutnya Kenaikan upah sangat penting buat buruh karena untuk mencukup kebutuhan hidup.
“Jadi kita sedang melawan inpres yang dikeluarkan presiden bahwa buruh untuk sektor padat karya naiknya cukup 5 persen saja, untuk buruh padat modal 10 persen saja, jadi kita tidak peduli dengan inpres. Justru karena dia mengeluarkan inpres maka kita lawan dengan 50 persen tuntutan kita kenaikan upah. Rencananya tanggal 28-30 itu akan menjadi pra kondisi kita untuk mogokin kawasan-kawasan industri kemudian tanggal 31 (Oktober) -1 (November) adalah mogok nasional secara serentak,” papar Jumisih.
Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menilai tidak ada yang salah dengan permintaan buruh terkait kenaikan upah tetapi persetujuan upah minimum harus berdasarkan survey dan keputusan dewan pengupahan.
Para buruh perempuan lanjutnya kerap disuruh bekerja melebihi jam kerja yang telah ditentukan tanpa mendapatkan uang lembur, padahal Undang-udang No.13/2003 menyatakan bahwa jam kerja buruh adalah delapan jam.
Dalam hal reproduksi seperti cuti haid dan cuti melahirkan contohnya, Jumisih mengatakan banyak perusahaan yang mengabaikannya. Sekarang ini, lanjutnya, perusahaan banyak yang menghilangkan adanya cuti haid bagi buruh perempuan.
Perusahaan, menurut Jumisih, banyak yang memberhentikan buruh perempuan yang hamil dengan alasan yang mengada-ada karena tidak mau menanggung biaya persalinan.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, buruh perempuan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual karena buruh perempuan masih dianggap kelas nomor dua dalam industri sehingga kerap diperlakukan tidak nyaman oleh atasan-atasannya.
Berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya di basis-basis pabrik, lanjut Jumisih, hampir semua buruh perempuan pernah mengalami pelecehan seksual.
"Semua buruh perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja, entah dilakukan oleh atasan atau personalia," ujar Jurnisih.
"Ada buruh perempuan yang sampai dibopong oleh atasannya, dibawa ke ruang tertentu untuk dicium-ciumi. Ada buruh perempuan yang sampai melakban bajunya karena saking seringnya terjadi pelecehan seksual. Buruh perempuah masuk ke WC diikuti."
Selain itu, gaji buruh perempuan, menurut Jumisih, lebih rendah dibanding buruh laki-laki. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 17-22 persen.
Dengan kondisi tersebut, tambah Jumisih, pemerintah tidak melindungi. Jumisih mengatakan buruh perempuan juga mendukung rencana aksi mogok nasional yang akan dilakukan buruh pada tanggal 31 Oktober hingga 1 November.
Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut agar upah buruh naik minimal 50 persen.Menurutnya Kenaikan upah sangat penting buat buruh karena untuk mencukup kebutuhan hidup.
“Jadi kita sedang melawan inpres yang dikeluarkan presiden bahwa buruh untuk sektor padat karya naiknya cukup 5 persen saja, untuk buruh padat modal 10 persen saja, jadi kita tidak peduli dengan inpres. Justru karena dia mengeluarkan inpres maka kita lawan dengan 50 persen tuntutan kita kenaikan upah. Rencananya tanggal 28-30 itu akan menjadi pra kondisi kita untuk mogokin kawasan-kawasan industri kemudian tanggal 31 (Oktober) -1 (November) adalah mogok nasional secara serentak,” papar Jumisih.
Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menilai tidak ada yang salah dengan permintaan buruh terkait kenaikan upah tetapi persetujuan upah minimum harus berdasarkan survey dan keputusan dewan pengupahan.