Untuk ketiga kalinya, Ketua DPR Setya Novanto tidak memenuhi panggilan pemeriksaan komisi pemberantasan korupsi dalam kasus korupsi proyek KTP-elektronik. Ketua Umum Partai Golkar itu dipanggil komisi antirasuah itu sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Sosok berusia 62 tahun itu lebih memilih menghadiri undangan HUT Golkar ke 53 tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT), yang merupakan daerah pemilihannya, dibanding memenuhi panggilan KPK.
Melalui surat yang dikirimkan kepada KPK, Setya Novanto beralasan bahwa pemeriksaan dirinya harus mendapatkan izin dari Presiden Joko Widodo. Dalam surat bertanda kop DPR dan ditandatangani ketua DPR tersebut juga menjelaskan mengenai hak imunitas DPR yang diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Dalam penjelasan di surat itu, UU MD3 mengharuskan penyidik yang memanggil anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif kepada wartawan, Senin (13/11) mengatakan alasan mangkirnya Ketua DPR itu mengada-ada. Menurutnya KPK baru akan meminta izin kepada presiden untuk memeriksa Setya Novanto atau anggota DPR dan DPR lain jika terkait tindak pidana umum.
Sementara dugaan korupsi yang sedang diselidiki ini merupakan tindak pidana khusus yang penanganannya tidak memerlukan izin presiden. Dan mengingat sudah tidak kali panggilan KPK itu tidak dipenuhi, belum ada keputusan apakah perlu melakukan pemanggilan paksa terhadap Setya Novanto.
"Beliau kan pernah hadir di beberapa kali dipanggil ya dan waktu it beliau hadir tanpa surat izin dari presiden. Kenapa sekarang, hadir kami harus mendapatkan izin dari presiden dan itu juga sudah ada putusan dari mahkamah konstitusi tidak mewajibkan adanya izin dari presiden," kata Laode.
Hal yang sama juga disampaikan peneliti Forum Masyarakat Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, yang menilai tidak perlu ijin presiden untuk memeriksa Setya Novanto.
"Di UU MD3 walaupun pasal persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sudah dibatalkan oleh Mahkamah dan Konstitusi dan diganti oleh persetujuan tertulis oleh presiden tetapi ayat 3 pasal 245 terkait dengan pengecualian untuk persetujuan tertulis itu , itu ditujukan untuk kasus OTT (operasi tangkap tangan)misalnya dan kasus terkait pidana khusus. Saya kira urusan dengan KPK itu selalu berkaitan dengan pidana khusus yaitu pidana korupsi," kata Lucius Karus.
Namun alasan itu dipertanyakan oleh kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto, Fredrich Yunadi.
"Kok takut minta izin kepada presiden, presiden tidak akan menghalangi.Hanya menunggu waktu tenggang waktu 30 hari. Ada apa maksudnya di sana berarti hanya ingin menunjukan kekuasaan, kita tetap akan lawan," jelas Fredrich Yunadi.
Dalam kesempatan terpisah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai penetapan Setya Novanto tidak memiliki bukti valid, terlebih karena BPK dan BPKP membantah adanya keterlibatan mantan tokoh Golkar itu dalam korupsi e-KTP. Ia malah mensinyalir adanya “kesepakatan politik” antara KPK yang pihak yang berkepentingan ikut bertarung dalam pemilu presiden 2019 nanti.
Your browser doesn’t support HTML5
"Makin di ujung saya melihat kasus ini lebih mengarah kepada perebutan tiket 2019 . Ini adalah perebutan tiket 14,7 persen tiket Golkar.Itu yang menonjol, jadi KPK dalam deal besar untuk merebut tiket Golkar," jelas Fahri Hamzah.
Baru-baru ini, KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi KTP Elektronik. Penetapan serupa pernah dilakukan pada 17 Juli lalu, tetapi hakim tunggal sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar, membatalkan status itu pada 29 September lalu.
Meski demikian KPK mendapat bukti baru ketika ada petunjuk keterlibatan Setya Novanto pada laporan Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat awal bulan lalu, ketika menelusuri aset Johannes Marliem, bos Biomorf Lone, penyedia sistem perekam biometrik untuk e-KTP.
Di Jakarta, persidangan perkara e-KTP dengan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong pun terus mengurai peran Setya ketika proyek ini dibahas di DPR pada 2010-2011. [fw/em]