Dalam diskusi tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, Rabu (28/2), Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan perwakilan rakyat (DPR) Willy Aditya menegaskan pihaknya ingin mempercepat penyusunan rumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Terutama setelah empat kali melakukan rapat dengar pendapat dengan beragam kalangan mulai dari ulama, organisasi non-pemerintah, aktivis hingga akademisi, tim perumus sedang menyusun draf RUU tersebut.
Menurut Willy, pembahasan hingga pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu dipercepat karena isu kekerasan seksual belum memiliki payung hukum. Ditambahkannya, dalam masa sidang pada 18 Agustus mendatang tim perumus akan mempresentasikan naskah awal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
BACA JUGA: KUPI: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bukan Pesanan Gerakan Feminis Global"Apa faktanya? Kekerasan seksual itu seperti fenomena gunung es. Besar angkanya seperti laporan Komnas Perempuan tetapi proses penanganannya sangat minimalis. Jadi payung hukumnya belum ada," kata Willy.
Mengutip pendapat Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Profesor Topo Santoso, Willy menjelaskan kekerasan seksual merupakan tindak pidana khusus karena belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dia mengatakan KUHP baru mengatur tentang pemerkosaan, perzinaan, dan aborsi. Karena itu, lanjut Willy, apa-apa yang belum diatur dalam KUHP akan menjadi materi muatan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Selain itu, dalam proses penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga perlu melakukan sinkronisasi dengan Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-undang Pornografi sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan.
Willy mengakui saat ini yang menjadi perdebatan adalah mengenai terminologi, apakah kekerasan seksual atau kejahatan seksual. Yang menjadi polemik juga adalah soal kontrol sosial.
Ada tiga poin penting dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang dalam tahap pembahasan di Badan Legislasi ini yaitu bahwa undang-undang ini penting karena adanya kekosongan payung hukum untuk masalah kekerasan seksual, bahwa aparat penegak hukum harus berperspektif korban, dan bahwa undang-undang ini harus berpihak kepada korban.
BACA JUGA: DPR Susun Ulang Rumusan RUU Penghapusan Kekerasan SeksualSejalan dengan Misi Islam
Pada diskusi tersebut, Nur Rofiah dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menjelaskan dalam kongres Pertama KUPI pada 2017 di Cirebon menghasilkan sejumlah keputusan, termasuk hukum melakukan kekerasan seksual di dalam maupun di luar perkawinan adalah haram.
Nur menambahkan penyusunan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejalan dengan misi Islam yakni mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat bagi semesta, termasuk perempuan.
"Prinsip dasar dari sistem bisa menjadi rahmat bagi semesta, termasuk sistem bernegara, adalah dengan mendudukkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek penuh. Sehingga tidak ada satu pun yang menjadi objek atau subjek sekunder dalam sebuah sistem, termasuk perkawinan, keluarga, dan negara. Islam menegaskan seperti laki-laki, perempuan adalah subjek penuh dalam sistem kehidupan," ujar Nur.
Nur menjelaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting karena terus meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Selain itu, bagi sebagian masyarakat kekerasan seksual dipandang sebagai hal yang normal dan bahkan dianggap sebagai lelucon. Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sering dipandang sebagai pelaku kejahatan, pelaku zina.
Pembahasan Berlarut
Menurut Endah Triastuti, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia sekaligus pemerhati isu gender, mengatakan satu hasil penelitian menyimpulkan sebagian media kerap menggambarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual secara negatif sehingga memicu munculnya gerakan menolak RUU itu. Penelitian lain menunjukkan besarnya sentimen negatif terhadap pembasan RUU tersebut.
Your browser doesn’t support HTML5
"Ini tidak hanya terjadi di media daring tetapi juga di media konvensional. Dari 2.490 berita RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) di media daring, dari bulan Juli (2 Juli) sampai Desember (20 Desember) 2020, itu ada 64 persen (1.601 artikel) memuat sentimen negatif terhadap RUU PKS. Hanya 25 persen (632 artikel) sentimen positif terhadap RUU PKS ini," tutur Endah.
Beberapa institusi terus menggelar kampanye secara luring (offline) maupun daring (online) untuk menolak feminisme dan RUU Penghapusan kekerasan Seksual, antara lain : Insist, Center for Gender Study, AILA Indonesia, feministclass.id, dan Sekolah Pemikir Islam Indonesia. Institusi-institusi ini umum beraliansi dengan kelompok elit yang memiliki jabatan formal, kaum menengah seperti organisasi perempuan dan pengajian, juga akademisi serta mahasiswa. [fw/em]