Presiden Barack Obama diharapkan mau menanyakan kepada pemerintah Laos, bagaimana nasib Sombath Sompone, aktivis hak asasi manusia yang hilang sekitar empat tahun lalu. Harapan itu disampaikan oleh Mugiyanto Sipin, survivor atau penyintas kasus penculikan aktivis tahun 1998 di Indonesia. Perasaan solidaritas sebagai aktivis yang pernah diculik, membuat Mugiyanto Sipin menulis surat kepada Obama seputar keinginan itu.
Namun, Mugiyanto yang kini menjabat sebagai Senior Program Officer HAM dan Demokrasi di lembaga INFID menyatakan, Laos bukan satu-satunya negara ASEAN yang bermasalah dalam soal HAM. Myanmar, Vietnam, Malaysia, dan bahkan Indonesia sendiri masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai dalam hal ini. Salah satunya, menurut Mugiyanto, adalah karena negara-negara ASEAN memprioritaskan pembangunan ekonomi, dengan dukungan stabilitas yang kuat.
Dia mencontohkan, Presiden Jokowi telah menyatakan sejak awal bahwa pelanggaran HAM di masa lalu, harus diselesaikan sehingga tidak membebani masa depan Indonesia. Namun, pernyataan itu tidak diikuti oleh langkah nyata karena secara umum, birokrasi di bawah presiden belum memiliki kesadaran yang sama.
“Terutama karena negara-negara ASEAN sangat memprioritaskan growth, pertumbuhan ekonomi. Yang konsekuensinya kemudian adalah pelanggaran HAM, terutama karena Negara-negara ASEAN tidak punya kerangka kerja yang jelas, terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia,” kata Mugiyanto Sipin.
Mugiyanto memberi contoh, bagaimana pejuang lingkungan di Jawa Timur dibunuh karena menolak industri tambang. Kejadian yang tidak jauh berbeda, berlangsung juga di Jambi terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Meski begitu, secara umum Mugiyanto menilai, Indonesia seharusnya bisa mengambil posisi penting dalam isu-isu HAM di tingkat ASEAN.
Negara-negara lain sulit untuk diharapkan. Bahkan Malaysia telah mendeportasi dirinya pada 7 Januari lalu, ketika diundang untuk berbicara pada sebuah forum yang diselenggarakan kelompok Bersih, yang merupakan oposisi pemerintah Malaysia.
Mugiyanto berharap, Amerika menjadikan isu HAM sebagai pertimbangan penting, dalam penyusunan kerangka kerja sama dengan ASEAN dan anggotanya.
“Sebetulnya, harapan saya ada pada pemerintah saya sendiri, pemerintahan Jokowi. Tetapi kalau sampai harapan itu tidak hadir, dan mungkin yang justru dari pemerintah Amerika Serikat, maka kepada Presiden Barack Obama, dalam pembahasan-pembahasan di KTT ASEAN-Amerika ini, maka yang utama menurut saya, pemerintah Amerika Serikat harus memperhatikan aspek-aspek Hak Asasi Manusia dalam program kerja samanya dengan ASEAN maupun dengan negara-negara anggotanya secara bilateral,” imbuhnya.
Peneliti di ASEAN Studies Centre, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Hempri Suyatna menilai, Amerika dan Cina akan berperan besar bagi masa depan ASEAN. Kedua negara ini akan terus menancapkan pengaruhnya, karena kawasan ini memiliki nilai strategis. Namun pada sisi yang lain, ASEAN seharusnya mampu bersikap lebih independen
“Sebaiknya ASEAN tidak berpihak kepada salah satu poros, baik itu Amerika maupun Cina. Sehingga kemudian Negara-negara ASEAN itu memiliki daya tawar, tidak justru bergantung kepada Cina ataupun Amerika. Intinya, jangan sampai ASEAN itu hanya dijadikan sebagai arena perebutan kepentingan ekonomi dan politik oleh Cina dan Amerika. ASEAN harus memainkan peran penting disitu,” kata Hempri Suyatna.
Hempri mengatakan, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia relatif dekat dengan Amerika Serikat. Sedangkan Jokowi kali ini cenderung membuka diri lebih luas bagi Cina, terutama di sektor ekonomi. Melalui KTT ASEAN-Amerika di San Fransisco kali ini, Jokowi diharapkan mampu menunjukkan kesan, bahwa Indonesia mampu memimpin ASEAN untuk lebih mandiri. Meskipun Hempri mengakui, ASEAN sendiri masih memiliki persoalan, terkait perannya sebagai organisasi regional, yang belakangan kurang terlihat. [ns/ab]