Amnesty International: Kerusuhan yang Libatkan Eks Desertir Militer Sulit Terungkap Utuh

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid (tengah) dan Al Araf saat berdiskusi di DPP PSI, Rabu (29/5/2019) (foto: VOA/Sasmito Madrim)

Aparat penegak hukum diminta membongkar dalang kerusuhan yang terjadi beriringan dengan aksi 21-22 Mei lalu di beberapa titik wilayah Jakarta.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan kasus-kasus kerusuhan yang melibatkan desertir militer jarang diselesaikan secara tuntas. Hal tersebut disampaikan Usman Hamid terkait munculnya tersangka kerusuhan pada aksi 21-22 Mei yang berasal dari desertir militer. Menurutnya, hal yang sama juga pernah terjadi pada kerusuhan 1998 yang dikabarkan ada sekitar 150 orang desetir militer yang diduga terlibat dalam insiden kekerasan saat itu.

Untuk itu, Usman mengusulkan agar pemerintah membentuk tim independen guna mengungkap secara utuh kasus kerusuhan 21-22 Mei ini dan memprosesnya di pengadilan umum.

"Belakangan kita lihat ada beberapa eks militer yang sayangnya tidak ditangani oleh kepolisian atau otoritas sipil melainkan pihak militer. Yang saya ragu bahwa pada akhirnya kita akan sampai pada kesimpulan yang utuh tentang siapa dan bagaimana kerusuhan itu diciptakan. Tidak pernah ada sejarahnya, kerusuhan semacam itu yang melibatkan eks militer itu bisa dibongkar secara utuh, karena militer memiliki kekebalan hukum sendiri melalui mekanisme peradilan militer," jelas Usman Hamid saat berdiskusi di kantor DPP PSI, Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2019).

Usman berpendapat polisi dapat memulai mencari dalang kerusuhan dengan mencari perencana penyerangan asrama Brimob di di Asrama Brimob, Jalan KS Kubun, Petamburan, Jakarta. Sebab, kata dia, aksi massa yang berlangsung di Bawaslu berjalan dengan damai.

Sementara itu pakar politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Hermawan Sulistyo menilai kemampuan kepolisian untuk mendalami keterlibatan para desertir militer ini sudah mumpuni. Hanya, kata dia, perlu keberanian polisi untuk mengungkap kasus ini. Karena itu, perlu ada dorongan dari masyarakat sipil untuk memperkuat polisi mengusut kasus ini secara tuntas.

"Kuatlah, kalian tidak tahu instrumen siber polisi sekarang yang terbaik di Asia, sangat canggih. (Tapi apakah polisi berani?) Nah kalau itu mari kita sama-sama suntik keberanian," jelas Hermawan.

Hermawan menambahkan orang-orang yang juga patut diduga menjadi dalang kerusuhan yaitu orang-orang yang dapat mengambil keuntungan secara ekonomi dan politik dari kerusuhan ini. Namun, kata dia, hal ini akan sangat bergantung pada fakta-fakta hukum yang akan ditemukan aparat.

Senada, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Soleman Ponto menilai polisi saat ini akan lebih mudah mengungkap dalang kerusuhan pada 21-22 Mei dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya. Sebab, saat ini ada indikasi-indikasi awal yang dapat dikembangkan kepolisian dalam mencari dalang kerusuhan.

"Sekarang narik dari bawah ke atas, lebih gampang dari dulu. Karena jelas, misalkan ambulans ada fotonya, orang-orang ada foto dan videonya. Jadi itulah pembuktian-pembuktian yang mempermudah penegak hukum untuk melihat indikasi," kata Soleman Ponto.

Kendati demikian, Soleman meyakini kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei tidak berkaitan dengan institusi TNI secara resmi.

Kepolisian telah menetapkan 6 tersangka kasus kepemilikan senjata api ilegal yang akan digunakan saat aksi 22 Mei 2019. Dua di antaranya adalah IR dan TJ yang merupakan desertir militer. [sm/em]