Para ahli yang diminta bergabung adalah Marzuki Darusman, mantan komisioner HAM yang pernah jadi pelapor khusus PBB untuk isu Korea Utara dan Rohingya-Myanmar; Makarim Wibisono, mantan dubes Indonesia untuk PBB yang berpengalaman dalam isu Palestina; serta Anita Wahid, Presidium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo).
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan tiga ahli ini akan membantu penyelidikan lebih mendalam.
“Kami akan terus melakukan pemantauan dan dalam pemantauan itu kita akan melibatkan beberapa tokoh yang kita anggap punya keahlian. Dengan pelibatan tokoh-tokoh ini, harapan kita, akan semakin mampu mengungkapkan fakta-fakta itu,” ujarnya dalam bincang-bincang di Jakarta, Senin (27/5/2019) sore.
Komnas HAM sudah memantau pemilu sejak pencoblosan 17 April. Ketika demonstrasi 22 Mei terjadi, tim telah memantau langsung para korban luka di RS Tarakan, RS Budi Kemuliaan, dan RS Polri. Tim ini pun mengumpulkan data dari dokter dan manajemen rumah sakit terkait korban luka-luka dan tewas.
Taufan mengatakan, ada 4 orang tewas karena peluru tajam. Namun untuk memastikan siapa pelakunya, diserahkan kepada polisi.
“Ini ada pertanyaan serius, ada orang mati, ditembak, pelurunya peluru tajam. Nah untuk mengungkapkan siapa penembak ini, itu yang punya wewenang punya kemampuan itu tentu saja nggak bisa dibantah adalah polisi,” tambahnya.
Komnas HAM Periksa Pedoman Internal Polisi
Lembaga Independen ini akan memeriksa dugaan pelanggaran oleh aparat berdasarkan 3 Peraturan Kapolri (Perkap), yakni tentang Pengendalian Massa, Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan kepolisian, dan implementasi prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Jika ada petugas yang terbukti melanggar aturan, harus dihukum tegas, desak Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara.
“Ketika ada aparatnya yang melakukan kekerasan dan sebagainya, untuk bisa diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Kenapa ini penting? Supaya tidak ada kejadian lagi di masa mendatang, kekerasan dan segala macam,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Beka menambahkan, lembaganya telah lama bekerjasama dengan kepolisian untuk menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam melaksanakan tugas.
Di sisi lain, ujar Komisioner Chairul Anam, pihaknya juga akan memeriksa apakah demonstrasi kemarin masuk kategori damai atau tidak.
“Kalau itu tidak dikategorikan sebagai aksi yang damai, apa yang harus dilakukan oleh aparat? Kalau sudah menangkap, apa boleh dipukul? Kalau lagi negosiasi boleh melakukan macam-macam? Apakah lagi negosiasi masyarakat boleh nimpukin polisi? Yang begitu juga akan kita ukur” terangnya dalam kesempatan yang sama.
Komnas HAM dan Polisi bekerja Terpisah
Dalam menyelidiki dugaan pelanggaran, Kepolisian telah membentuk tim penyelidik internal dan mengajak Komnas HAM untuk ikut bergabung. Namun sesuai fungsi UU 39 tahun 1999 tentang HAM, ujar Taufan Damanik, Komnas HAM akan bekerja secara terpisah.
“Tapi dengan mandat UU 39 yang kami miliki, kami itu tidak mungkin bergabung dalam tim itu. Kita harus berada di luar tim, punya tim sendiri. Tetapi dalam bekerjanya, tentu akan berkoordinasi (dengan polisi), tidak hanya dengan kepolisian tetapi dengan yang lain-lain juga kita akan berkoordinasi,” tegasnya.
Lembaganya juga akan mempelajari temuan awal dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Anti Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), LBH Jakarta, dan sejumlah lembaga lain. Kelompok sipil ini sebelumnya mengungkapkan adanya 14 indikasi pelanggaran oleh aparat, antara lain penyiksaan dan perlakuan keji terhadap orang yang ditangkap. Namun Taufik menegaskan informasi itu akan diverifikasi terlebih dahulu sebelum masuk laporan Komnas HAM. (rt/em)