Anggota DPR mendesak pemerintah menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri sampai mekanisme perlindungannya selesai dibuat.
JAKARTA —
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah melakukan moratorium (penghentian sementara) pengiriman tenaga kerja ke luar negeri hingga revisi undang-undang tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) selesai dilakukan.
Eva Kusuma Sundari dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan bahwa mekanisme perlindungan yang maksimal akan membuat tenaga kerja Indonesia di luar negeri lebih dihargai dan dihormati.
“[Kami sedang] melakukan revisi Undang-undang No. 39/2004 dengan mengintegrasikan amanat konvensi ILO untuk buruh migran dan keluarganya, plus sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa pengurusan pengiriman, perekrutan dan penempatan itu harus dilakukan oleh negara, tidak bisa diberikan kepada swasta seperti yang selama ini dilakukan,” ujar Eva.
Baru-baru ini tenaga kerja Indonesia asal Batang, Jawa Tengah diperkosa oleh tiga polisi Malaysia. Tenaga kerja berinisial SM tersebut sedang berjalan-jalan dengan kekasihnya, pria berkebangsaan Malaysia, di kawasan Prai, Penang, saat dicegat polisi.
Ketika SM tidak bisa menunjukkan salinan paspor, ia pun dibawa ke kantor polisi Bukit Mertajam, tempat ia diperkosa secara bergiliran.
Atas peristiwa tersebut, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Razak mengatakan pemerintah Indonesia telah melayangkan nota protes diplomatik kepada pemerintah Malaysia.
Nota protes diplomatik Indonesia itu, kata Tatang, berisi tuntutan hukuman tegas bagi para pelaku. Ia menyatakan pemerintah Indonesia akan terus mengawal proses hukum kepada tiga polisi tersebut.
“Pertama, pemerintah akan terus melakukan pendekatan-pendekatan pada institusi terkait agar proses ini dilakukan secara cepat, tepat dan transparan. Kita telah menunjuk pengacara yang juga mengawal proses hukumnya agar sesuai dengan yang diharapkan,” ujar Tatang.
Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan kasus pemerkosaan terhadap tenaga kerja wanita ini menambah deretan panjang pelanggaran yang dilakukan polisi Malaysia terhadap buruh migran Indonesia.
Ia mengatakan bahwa sejak 2007 hingga 2012, 151 tenaga kerja Indonesia ditembak mati oleh polisi Malaysia, dan tidak satupun dituntaskan dengan proses hukum yang adil. Tidak tuntasnya penyelesaian masalah ini menurut Wahyu juga disebabkan karena lemahnya diplomasi pemerintah Indonesia.
Menurutnya, pemerintah Indonesia selama ini hanya reaktif terhadap kasus yang muncul. Kompleksitas persoalan TKI selama ini tidak dianggap serius sehingga penanganannya juga tidak pernah serius.
“Respon dari pemerintah itu tidak luar biasa, hanya membuat protes tetapi tidak memberikan langkah-langkah yang berarti dan kemudian berlanjut dengan kasus ini,” ujarnya.
Eva Kusuma Sundari dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan bahwa mekanisme perlindungan yang maksimal akan membuat tenaga kerja Indonesia di luar negeri lebih dihargai dan dihormati.
“[Kami sedang] melakukan revisi Undang-undang No. 39/2004 dengan mengintegrasikan amanat konvensi ILO untuk buruh migran dan keluarganya, plus sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa pengurusan pengiriman, perekrutan dan penempatan itu harus dilakukan oleh negara, tidak bisa diberikan kepada swasta seperti yang selama ini dilakukan,” ujar Eva.
Baru-baru ini tenaga kerja Indonesia asal Batang, Jawa Tengah diperkosa oleh tiga polisi Malaysia. Tenaga kerja berinisial SM tersebut sedang berjalan-jalan dengan kekasihnya, pria berkebangsaan Malaysia, di kawasan Prai, Penang, saat dicegat polisi.
Ketika SM tidak bisa menunjukkan salinan paspor, ia pun dibawa ke kantor polisi Bukit Mertajam, tempat ia diperkosa secara bergiliran.
Atas peristiwa tersebut, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Razak mengatakan pemerintah Indonesia telah melayangkan nota protes diplomatik kepada pemerintah Malaysia.
Nota protes diplomatik Indonesia itu, kata Tatang, berisi tuntutan hukuman tegas bagi para pelaku. Ia menyatakan pemerintah Indonesia akan terus mengawal proses hukum kepada tiga polisi tersebut.
“Pertama, pemerintah akan terus melakukan pendekatan-pendekatan pada institusi terkait agar proses ini dilakukan secara cepat, tepat dan transparan. Kita telah menunjuk pengacara yang juga mengawal proses hukumnya agar sesuai dengan yang diharapkan,” ujar Tatang.
Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan kasus pemerkosaan terhadap tenaga kerja wanita ini menambah deretan panjang pelanggaran yang dilakukan polisi Malaysia terhadap buruh migran Indonesia.
Ia mengatakan bahwa sejak 2007 hingga 2012, 151 tenaga kerja Indonesia ditembak mati oleh polisi Malaysia, dan tidak satupun dituntaskan dengan proses hukum yang adil. Tidak tuntasnya penyelesaian masalah ini menurut Wahyu juga disebabkan karena lemahnya diplomasi pemerintah Indonesia.
Menurutnya, pemerintah Indonesia selama ini hanya reaktif terhadap kasus yang muncul. Kompleksitas persoalan TKI selama ini tidak dianggap serius sehingga penanganannya juga tidak pernah serius.
“Respon dari pemerintah itu tidak luar biasa, hanya membuat protes tetapi tidak memberikan langkah-langkah yang berarti dan kemudian berlanjut dengan kasus ini,” ujarnya.