Tiga anggota Kopassus yang menjadi pelaku utama penyerangan dan pembunuhan terhadap tahanan di LP Sleman dituntut antara delapan – 12 tahun.
YOGYAKARTA —
Tiga anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang menjadi pelaku utama penyerangan dan pembunuhan terhadap tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Sleman pada Maret lalu, dituntut hukuman penjara antara delapan dan 12 tahun.
Tuntutan 12 tahun itu disampaikan Oditur Militer II-11 Letkol Sus Budiharto, dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Militer II/11 Yogyakarta, Rabu (31/7), kepada eksekutor dalam pembunuhan terhadap empat tahanan di LP Sleman, Serda Ucok Tigor Simbolon.
Sedangkan kepada Serda Sugeng Sumaryanto dan Koptu Kodik yang turut membantu langsung upaya pembunuhan, Oditur menuntut masing-masing dengan 10 tahun dan 8 tahun penjara.
Ketiganya juga dituntut untuk dipecat dari militer. Menurut Sus Budiharto, hal-hal yang memberatkan tuntutan antara lain adalah karena perbuatan para terdakwa mencemarkan nama baik TNI, dilakukan di instansi pemerintah dan menimbulkan trauma bagi pihak-pihak terkait, seperti petugas LP dan tahanan lain.
Sedangkan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa antara lain adalah karena pelaku mau mengakui perbuatan mereka, para terdakwa dianggap prajurit berprestasi dalam tugas, belum pernah dihukum, dan pembunuhan itu dilakukan untuk membela korps Kopassus.
“ Bersalah melakukan tindak pidana, kesatu, secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana. Kedua, dua orang atau lebih bersama-sama dengan segaja tidak mentaati perintah dinas,” ujarnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar yang turut hadir di persidangan menilai, tuntutan yang diajukan Oditur Militer tetap harus diapresiasi.
Tidak bisa diukur dengan pasti, apakah tuntutan itu sebanding dengan perbuatan terdakwa atau tidak, namun, kata Haris Azhar, seharusnya kasus ini tidak dihentikan kepada Serda Ucok dan kawan-kawan.
KontraS meyakini bahwa kasus ini seharusnya juga menyertakan pihak-pihak yang bertanggung jawab, yang merupakan pejabat militer dan kepolisian di Yogyakarta. Dalam catatan KontraS, seharusnya ada 17 orang yang pantas menjadi terdakwa, dan bukan hanya 12.
“Harusnya, unsur perencanaan itu menggambarkan kegagalan polisi melindungi mereka (korban) atau juga menguji adakah memang niatan dari sejumlah pihak di dalam Kopassus grup II itu untuk mengeksekusi empat orang ini. Nah, dari tuntutan ini kan kelihatan bahwa tidak ada (upaya) kesana. Jadi, catatan saya secara keseluruhan sebenarnya Mahmil ini perlu diapresiasi, cukup menunjukkan kesungguhan untuk memeriksa, tetapi, yang kedua konstruksi hukumnya tidak kuat menggambarkan, sehingga akhirnya membebankan kepada Ucok CS saja, tidak bisa membongkar lebih luas peristiwa ini,” ujarnya.
Haris menambahkan, dalam beberapa hari ke depan, KontraS akan menyampaikan masukan kepada Pengadilan Militer terkait pendapat dan temuan mereka dalam kasus ini. Diharapkan, masukan tersebut dapat mempengaruhi keputusan majelis hakim dan memberikan rasa adil bagi seluruh pihak, termasuk keluarga korban pembunuhan oleh anggota Kopassus ini.
Tuntutan 12 tahun itu disampaikan Oditur Militer II-11 Letkol Sus Budiharto, dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Militer II/11 Yogyakarta, Rabu (31/7), kepada eksekutor dalam pembunuhan terhadap empat tahanan di LP Sleman, Serda Ucok Tigor Simbolon.
Sedangkan kepada Serda Sugeng Sumaryanto dan Koptu Kodik yang turut membantu langsung upaya pembunuhan, Oditur menuntut masing-masing dengan 10 tahun dan 8 tahun penjara.
Ketiganya juga dituntut untuk dipecat dari militer. Menurut Sus Budiharto, hal-hal yang memberatkan tuntutan antara lain adalah karena perbuatan para terdakwa mencemarkan nama baik TNI, dilakukan di instansi pemerintah dan menimbulkan trauma bagi pihak-pihak terkait, seperti petugas LP dan tahanan lain.
Sedangkan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa antara lain adalah karena pelaku mau mengakui perbuatan mereka, para terdakwa dianggap prajurit berprestasi dalam tugas, belum pernah dihukum, dan pembunuhan itu dilakukan untuk membela korps Kopassus.
“ Bersalah melakukan tindak pidana, kesatu, secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana. Kedua, dua orang atau lebih bersama-sama dengan segaja tidak mentaati perintah dinas,” ujarnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar yang turut hadir di persidangan menilai, tuntutan yang diajukan Oditur Militer tetap harus diapresiasi.
Tidak bisa diukur dengan pasti, apakah tuntutan itu sebanding dengan perbuatan terdakwa atau tidak, namun, kata Haris Azhar, seharusnya kasus ini tidak dihentikan kepada Serda Ucok dan kawan-kawan.
KontraS meyakini bahwa kasus ini seharusnya juga menyertakan pihak-pihak yang bertanggung jawab, yang merupakan pejabat militer dan kepolisian di Yogyakarta. Dalam catatan KontraS, seharusnya ada 17 orang yang pantas menjadi terdakwa, dan bukan hanya 12.
“Harusnya, unsur perencanaan itu menggambarkan kegagalan polisi melindungi mereka (korban) atau juga menguji adakah memang niatan dari sejumlah pihak di dalam Kopassus grup II itu untuk mengeksekusi empat orang ini. Nah, dari tuntutan ini kan kelihatan bahwa tidak ada (upaya) kesana. Jadi, catatan saya secara keseluruhan sebenarnya Mahmil ini perlu diapresiasi, cukup menunjukkan kesungguhan untuk memeriksa, tetapi, yang kedua konstruksi hukumnya tidak kuat menggambarkan, sehingga akhirnya membebankan kepada Ucok CS saja, tidak bisa membongkar lebih luas peristiwa ini,” ujarnya.
Haris menambahkan, dalam beberapa hari ke depan, KontraS akan menyampaikan masukan kepada Pengadilan Militer terkait pendapat dan temuan mereka dalam kasus ini. Diharapkan, masukan tersebut dapat mempengaruhi keputusan majelis hakim dan memberikan rasa adil bagi seluruh pihak, termasuk keluarga korban pembunuhan oleh anggota Kopassus ini.