Angka kematian ibu di Sudan Selatan tertinggi di dunia akibat pernikahan dini, budaya yang menghargai keluarga besar serta kurangnya layanan kesehatan dan pendidikan.
JUBA, SUDAN SELATAN —
Di sebuah klinik kesehatan di pinggiran kota Juba, sejumlah perempuan yang memangku bayi mereka dan membujuk bayi-bayi itu agar diam tampak menyimak seorang petugas kesehatan yang sedang menjelaskan berbagai metode keluarga berencana.
Tawa cekikikan dan saling pandang memenuhi ruangan itu pada kesempatan tanya jawab mengenai hal baru itu di Sudan Selatan, di mana kebanyakan perempuan memiliki tujuh anak dan tingkat kematian ibu yang tertinggi di dunia.
Setelah terlibat perang saudara terlama di Afrika, hampir 50 tahun, negara yang baru merdeka itu membangun layanan kesehatannya dari awal sekali dengan dukungan badan-badan bantuan internasional.
Namun penelitian menunjukkan bahwa Sudan Selatan memiliki tingkat ketersediaan alat kontrasepsi terendah di dunia, 1,7 persen. Kehamilan dini di kalangan remaja di negara itu telah meningkat dari 20 persen menjadi 33 persen dalam beberapa tahun ini.
Jennifer Yeno, ibu tiga anak, mengataka, ia melahirkan anak pertamanya saat berusia 15 tahun. Kini, dalam usia 21 tahun, ia menjelaskan alasan mengapa ia memasang susuk hormon yang berfungsi selama lima tahun. Ia mengatakan tidak ingin cepat-cepat punya anak lagi dan mengakui perlunya jarak usia antar anak yang cukup untuk mewujudkan keluarga bahagia.
Bukan hanya perempuan-perempuan muda di Sudan Selatan yang bergulat mengatasi keluarga besar yang tidak mampu mereka kendalikan.
Tabita Nadia, ibu lima anak yang berusia 35 tahun mengatakan, suaminya menikah lagi dan memiliki anak dari istri barunya yang kini juga sedang hamil. Nadia mengatakan, gaji suaminya yang tidak menentu sebagai tentara telah menyulitkannya menafkahi anak-anaknya. Nadia bertekad untuk menyekolahkan mereka dengan harapan salah seorang anaknya kelak dapat mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan.
Nadia yang bekerja kasar sejak matahari terbit hingga terbenam yang kerap membuat dadanya sangat nyeri, hanya bisa memperoleh 100 dolar per bulan.
Sudan Selatan berharap dapat meningkatkan ketersediaan alat KB hingga 20 persen pada tahun2015, sementara penduduk negara baru itu tumbuh tiga persen per tahun, sementara negara itu berkutat untuk dapat menyediakan berbagai layanan dasar.
LSM Marie Stopes International (MSI) yang bergerak di bidang KB memulai program-programnya di tiga negara bagian Sudan Selatan, dan berharap dapat memperluasnya ke wilayah-wilayah yang lebih konservatif.
Petugas klinik MSI Jude Omal, yang menunggu kedatangan warga perempuan dengan sabar di tengah terik matahari di klinik Gurei, mengakui betapa berat menjelaskan tentang manfaat KB.
“Pada awalnya, kami mendapat banyak penolakan karena orang-orang mengira kalau kami memberi alat KB kepada seorang ibu, seorang perempuan pada usia reproduktif, perempuan itu kemungkinan besar akan menjadi pelacur. Kami katakan ‘tidak, layanan ini membantu mereka mempunyai anak pada saat mereka sudah siap,’ jadi KB memberdayakan perempuan dan remaja putri pada usia reproduktif,” jelas Jude Omal.
Tetapi ia mengatakan, kaum lelaki dan perempuan semakin memahami kaitan kerapnya kehamilan dan kurangnya layanan kesehatan dengan tingginya tingkat kematian ibu. Ia berharap kaum perempuan Sudan Selatan, di mana 80 persennya tidak mendapat pendidikan yang layak dan 16 persen menikah sebelum usia 15, mengambil pilihan yang tepat.
Tawa cekikikan dan saling pandang memenuhi ruangan itu pada kesempatan tanya jawab mengenai hal baru itu di Sudan Selatan, di mana kebanyakan perempuan memiliki tujuh anak dan tingkat kematian ibu yang tertinggi di dunia.
Setelah terlibat perang saudara terlama di Afrika, hampir 50 tahun, negara yang baru merdeka itu membangun layanan kesehatannya dari awal sekali dengan dukungan badan-badan bantuan internasional.
Namun penelitian menunjukkan bahwa Sudan Selatan memiliki tingkat ketersediaan alat kontrasepsi terendah di dunia, 1,7 persen. Kehamilan dini di kalangan remaja di negara itu telah meningkat dari 20 persen menjadi 33 persen dalam beberapa tahun ini.
Jennifer Yeno, ibu tiga anak, mengataka, ia melahirkan anak pertamanya saat berusia 15 tahun. Kini, dalam usia 21 tahun, ia menjelaskan alasan mengapa ia memasang susuk hormon yang berfungsi selama lima tahun. Ia mengatakan tidak ingin cepat-cepat punya anak lagi dan mengakui perlunya jarak usia antar anak yang cukup untuk mewujudkan keluarga bahagia.
Bukan hanya perempuan-perempuan muda di Sudan Selatan yang bergulat mengatasi keluarga besar yang tidak mampu mereka kendalikan.
Tabita Nadia, ibu lima anak yang berusia 35 tahun mengatakan, suaminya menikah lagi dan memiliki anak dari istri barunya yang kini juga sedang hamil. Nadia mengatakan, gaji suaminya yang tidak menentu sebagai tentara telah menyulitkannya menafkahi anak-anaknya. Nadia bertekad untuk menyekolahkan mereka dengan harapan salah seorang anaknya kelak dapat mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan.
Nadia yang bekerja kasar sejak matahari terbit hingga terbenam yang kerap membuat dadanya sangat nyeri, hanya bisa memperoleh 100 dolar per bulan.
Sudan Selatan berharap dapat meningkatkan ketersediaan alat KB hingga 20 persen pada tahun2015, sementara penduduk negara baru itu tumbuh tiga persen per tahun, sementara negara itu berkutat untuk dapat menyediakan berbagai layanan dasar.
LSM Marie Stopes International (MSI) yang bergerak di bidang KB memulai program-programnya di tiga negara bagian Sudan Selatan, dan berharap dapat memperluasnya ke wilayah-wilayah yang lebih konservatif.
Petugas klinik MSI Jude Omal, yang menunggu kedatangan warga perempuan dengan sabar di tengah terik matahari di klinik Gurei, mengakui betapa berat menjelaskan tentang manfaat KB.
“Pada awalnya, kami mendapat banyak penolakan karena orang-orang mengira kalau kami memberi alat KB kepada seorang ibu, seorang perempuan pada usia reproduktif, perempuan itu kemungkinan besar akan menjadi pelacur. Kami katakan ‘tidak, layanan ini membantu mereka mempunyai anak pada saat mereka sudah siap,’ jadi KB memberdayakan perempuan dan remaja putri pada usia reproduktif,” jelas Jude Omal.
Tetapi ia mengatakan, kaum lelaki dan perempuan semakin memahami kaitan kerapnya kehamilan dan kurangnya layanan kesehatan dengan tingginya tingkat kematian ibu. Ia berharap kaum perempuan Sudan Selatan, di mana 80 persennya tidak mendapat pendidikan yang layak dan 16 persen menikah sebelum usia 15, mengambil pilihan yang tepat.