Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China berdampak luas ke banyak negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia masih melakukan ekspor baik ke Amerika Serikat (AS) maupun ke China. China bahkan menempati urutan pertama tujuan ekspor Indonesia, disusul AS di urutan kedua, diikuti oleh Jepang, India, Singapura serta negara-negara Asean lainnya.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan mengatakan untuk mengatasi dampak dari perang dagang yang terjadi antara AS dan China, pemerintah mulai memperluas negara tujuan ekspor, yaitu dengan menyasar negara-negara non tradisional. Pihaknya optimis bahwa berbagai perjanjian bilateral dan perjanjian perdagangan dengan negara-negara non tradisional akan cukup mendongkrak kinerja ekspor sehingga bisa menekan laju impor.
"Kita tidak mau terjebak hanya dengan defense, kita offensive cari pasar lain. Negara non tradisional. saya kan sudah sampaikan ada perjanjian yang sedang on going, yang sedang dalam proses ratifikasi, ada juga yang mulai inisiasi. Seperti ke Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, Eurasia, itu yang kita dorong sekarang," kata Kasan.
BACA JUGA: Dirjen WTO Desak Negara-Negara Cegah Perang DagangHal itu disampaikan Kasan, dalam Seminar Fraksi PPP DPR RI, Strategi & Kebijakan Ekspor Impor Indonesia Dalam Menghadapi Globalisasi Ekonomi, Digital Ekonomi dan Ancaman Perang Dagang, di DPR RI, Jakarta, Rabu (26/9).
Selain itu, Kasan juga menjelaskan, bahwa Indonesia bukanlah sasaran utama AS dalam melakukan perang dagang ini. Pasalnya, AS hanya menyasar negara-negara yang menimbulkan defisit cukup besar terhadap negara Paman Sam ini, seperti China yang menimbulkan defisit perdagangan hingga 400 miliar dolar. Indonesia sebenarnya juga menimbulkan defisit, tetapi jumlahnya kecil yaitu 14 miliar dolar.
Menurutnya, dalam jangka pendek Indonesia tidak akan terkena dampak yang signifikan akibat perang dagang antara AS dan China tersebut. Meski begitu, kata Kasan, Indonesia harus punya berbagai langkah strategis ke depan, apabila perang dagang ini terus berlanjut.
"Mereka dengan jelas menyampaikan bahwa yang mereka jelas marah itu dengan China, karena sumber defisit terbesar perdagangannya dengan China. Jadi kalau dua negara ini berantem seperti ini, ya kita tidak ikut-ikutan terbawa arus. Kita melakukan porsi pendekatannya yaitu bilateral," tambahnya.
BACA JUGA: China: Sulit Lanjutkan Perundingan di Bawah Ancaman ASSementara itu, Head of Agency for Reseach and Development of Industry Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara mengatakan pihaknya juga berupaya untuk membantu para eksportir-eksportir di Indonesia untuk bisa memperluas ekspor ke negara-negara non tradisional tersebut. Salah satunya dengan melakukan pembekalan kepada para eksportir tersebut tentang peraturan-peraturan apa saja yang berlaku di negara non tradisional itu.
"Informasi mengenai peraturan impor , dan distribusi di negara tujuan, terutama negara-negara yang non tradisional, sangat dibutuhkan supaya kita bisa melakukan diversifikasi market. Jadinya pasar-pasar yang tadinya tidak kita perhatikan , maka mulai kita lirik karena potensinya juga cukup besar, dan untuk kita masuk ke dalam pasar tersebut kita harus tahu, peraturan-peraturan yang berlaku di negara tersebut bagaimana, spesifikasi barang yang di impor oleh mereka," ungkap Ngakan.
Ditambahkannya, pemerintah juga akan melakukan perluasan Free Trade Agreement (FTA), sehingga memiliki “lapangan main” yang sama dengan negara lain, sehingga ekonomi bisa tumbuh lebih baik lagi kedepannya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati mengatakan sebenarnya Indonesia dapat tahan banting dengan berbagai gejolak yang berasal dari eksternal, asalkan mempunyai produktivitas dan daya saing.
Your browser doesn’t support HTML5
Indonesia, menurutnya jangan hanya mewacanakan hilirisasi saja, tapi harus benar-benar dilakukan. Menurutnya hilirisasi dapat meningkatkan produktivitas, sehingga bisa memproduksi bahan baku di dalam negeri, sehingga tidak perlu adanya impor.
"Produktivitas dan daya saing, kuncinya. Karena dengan adanya produktivitas dan daya saing pasti dengan sendirinya menciptakan nilai tambah di perekonomian dalam negeri. Nah nilai tambah itu tadi yang menjawab kebutuhan masyarakat yaitu apa kesempatan kerja. Jadi kuncinya , dari suatu negara yang punya sumber daya besar , baik SDA dan SDM yang besar , itu adalah produkstivitas. Selama semuanya produktif , mau ada apapun gejolak dari luar, itu mampu bertahan," demikian pungkas Enny. [gi/em]