Ketika video yang menunjukkan sejumlah pemuda menggendong paksa seorang perempuan di NTT muncul belum lama ini, berbagai kecaman langsung muncul. Kritik antara lain datang dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Darmawati, serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT Emilia Nomleni.
Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), Alfred Samani, menyatakan aksi dalam video viral tersebut bukan tradisi kawin tangkap yang sebenarnya. Aksi itu, menurutnya, adalah pemaksaan berkedok tradisi.
"Dalam peristiwa ini, nuansa budaya dimanfaatkan untuk membenarkan suatu tindakan premanisme," ujarnya dalam sebuah diskusi mengenai kawin tangkap, Selasa (7/7) siang.
Alfred mengatakan, tradisi 'kawin tangkap' di Sumba memiliki proses adat yang jelas, bukan asal membawa perempuan secara paksa.
"(Misalnya) lihat perempuan di pasar, lihat perempuan di kali, lihat perempuan angkat air, suka dia, tanpa ada percakapan adat, ditangkap dibawa anak itu, naik ke rumah. Itu yang kami tolak, itu yang kami tidak setuju,” tandasnya.
Menurutnya, istilah kawin tangkap juga tidak tepat untuk menggambarkan tradisi di NTT. Akibatnya orang salah membandingkan tradisi setempat dengan praktik pemaksaan.
"Bahwa kemudian ada proses-proses di dalam adat itu, terkait dengan budaya setempatnya dan lain sebagainya itu, ia tidak bisa disejajarkan dengan istilah kita hari ini. Kalau dari segi budaya, nilainya itu beda,” pungkasnya.
BACA JUGA: Pembunuhan Demi Pertahankan Martabat di Bantaeng, Menguatnya Kembali Budaya Siri?Mengenal Piti Maranggangu dan Piti Rambang
Menurut Pendeta David Maundima dari Gereja Kristen Sumba (GKS), 'kawin tangkap' memang ada dalam kebudayaan setempat. Namun pelaksanaannya tidak bisa sembarangan dan terkait dengan ajaran Marapu, agama leluhur masyarakat Sumba.
BACA JUGA: Sah, DPR Tetapkan Batas Usia Kawin Perempuan 19 Tahun"Jika di dalam acara ini mereka mendapati ada restu dari pihak Marapu, mereka akan lakukan itu. Tapi jika seandainya ada penolakan mereka temukan pada tanda tertentu, mereka juga tidak akan pernah memaksakan diri untuk mempraktikan cara perkawinan yg seperti ini," tambahnya dalam kesempatan yang sama.
David merujuk pada Oe H. Kapita, seorang antropolog yang menulis buku "Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya". Oe H. Kapita merekam sejumlah cara peminangan dalam masyarakat Sumba, antara lain piti maranggangu (ambil dalam perjumpaan) dan piti rambang (ambil paksa) yang dikenal umum sebagai ‘kawin tangkap'.
Secara garis besar, calon mempelai laki-laki akan ‘menangkap’ calon mempelai perempuan, dalam proses yang sebetulnya sudah direncanakan dan disetujui oleh keluarga kedua belah pihak. Prosesnya pun melibatkan penanda informasi adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal, sebagai tanda bahwa prosesi tengah berlangsung.
BACA JUGA: Mengubah Tradisi Kawin Anak di Lombok“Saya yakin, dalam komunitas penganut kepercayaan Marapu pada masa lalu dan masa kini, yang melakukan praktik piti maranggang dan piti rambang, akan selalu memperhatikan ketentuan ini. Sehingga tidak sembarangan juga mereka mempraktikan,” tambah David, merefleksikan padangannya atas buku Oe H. Kapita.
Kawin Tangkap Cuma Masalah Hilir
Namun bagi Dr. Arianti Restianti Hunga, ahli Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, masyarakat seharusnya tidak pusing dengan perang istilah. Dia menggarisbawahi, segala perkawinan yang dipaksakan harus dihentikan.
"Apapun namanya saya tidak peduli, mau kawin tangkap, mau kawin culik, intinya ada pemaksaan di situ, atas nama birahi dari seseorang,” tegasnya.
Arianti mengatakan, praktik kawin tangkap ditopang oleh budaya patriarki yang kental, kemiskinan, serta tidak meratanya pembangunan. Karena itu, ujar perempuan yang lahir di Sumba ini, penting untuk memberdayakan kelompok perempuan setempat supaya dapat bersikap kritis.
"Betapa perempuan sendiri tidak mengerti transaksi yang terkait dengan tubuhnya. Harus kita lakukan pendidikan kritis agar perempuan lugas membahasakan sesuatu yang terkait dengan tubuhnya, transaksi atas tubuhnya,” tandasnya.
BACA JUGA: Ketidaksetaraan Gender Masih Tinggi di IndonesiaSementara yang mendesak saat ini, kata Arianti, adalah menyelamatkan para perempuan yang masih ‘diculik’. Dia mengatakan, korban kawin tangkap pasti mengalami luka mendalam.
“Harus segera membebaskan korban dari rumah pelaku. Ini tugas kita. Siapa yang menyediakan diri untuk ini?” ujarnya seraya menambahkan jajaran pemerintah daerah dan pusat perlindungan perempuan dapat segera bertindak.
Pemda Diminta Terbitkan Aturan
Ke depan, menurut Arianti, Pemprov NTT harus menyusun Peraturan Daerah mengenai Belis atau perkawinan. Sebab menurutnya banyak praktik perkawinan yang merugikan kelompok perempuan.
“Harusnya kesadaran (masyarakat). Tapi kalau tidak diatur? Kan begitu. Jadi harus diatur. Karena saya rasa belis itu adalah tirani, tirani bagi perempuan Sumba,” tandasnya.
Sementara itu, sebuah petisi di laman change.org menuntut Gubernur NTT Viktor Laiskodat untuk menerbitkan Perda Larangan Kawin Tangkap di 4 kabupaten di Pulau Sumba.
“Sehingga jika ada yang masih melakukannya dapat diproses secara hukum,” ujar Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (Peruati), penggagas petisi tersebut.
Peruati menilai praktik 'kawin tangkap' merupakan kekerasan terhadap perempuan dan melanggar Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 Tahun 1984.
Hingga Selasa (7/7) malam, petisi ini telah didukung 17.691 orang dari target 25.000 pendukung.[rt/ft]