Pemerintah Arab Saudi untuk pertama kalinya mengizinkan pembukaan klub olahraga untuk perempuan.
RIYADH —
Pemerintah Arab Saudi untuk pertama kalinya akan memberikan izin pembukaan klub-klub olahraga untuk perempuan, tulis surat kabar al-Watan, yang merupakan langkah besar bagi negara ultra-religius dengan para ulama yang melarang perempuan berolahraga.
Tahun lalu, kerajaan Islam konservatif ini, dimana perempuan harus mendapat izin dari muhrimnya untuk membuat banyak keputusan besar, mengirim atlet-atlet perempuan ke Olimpiade untuk pertama kalinya setelah mendapat tekanan dari kelompok-kelompok hak asasi internasional.
Sampai saat ini, fasilitas olahraga perempuan, termasuk pusat kebugaran, harus mendapat izin dari Kementerian Kesehatan dan ditujukan sebagai “pusat kesehatan.”
Surat kabar Watan yang dimiliki seorang pangeran Saudi, memberitakan bahwa pemerintah telah membentuk komite kementerian untuk mengizinkan klub olahraga perempuan. Kementerian Pemuda dan Olahraganya hanya mengatur klub-klub olahraga laki-laki.
Pada 2009, seorang anggota dewan ulama tertinggi di negara tersebut mengatakan perempuan tidak seharusnya berolahraga karena ada risiko “kehilangan keperawanan” saat selaput dara robek. Sekolah-sekolah negeri khusus perempuan tidak memiliki pelajaran olahraga.
Watan pada Jumat (30/3) mengatakan Kementerian Dalam Negeri telah memutuskan untuk mengizinkan klub olahraga perempuan setelah mengkaji studi yang memperlihatkan kelemahan dalam sistem yang ada.
Pada Agustus, dua perempuan Saudi, seorang atlet yudo dan pelari cepat, menjadi yang pertama yang mewakili negaranya di Olimpiade. Sedikitnya satu dari mereka telah berlatih di luar negeri.
Perempuan Saudi juga dilarang menyetir mobil dan harus mendapat izin dari “wali” laki-laki, biasanya ayah, suami atau abang, untuk menikah, bepergian ke luar negeri, membuka rekening bank, bekerja atau dioperasi.
Pada Januari, Raja Abdullah memilih 30 perempuan untuk Dewan Syuro, sebuah badan yang membahas rancangan undang-undang dan memberikan nasihat tidak terikat untuk pemerintah.
Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, dilihat sebagai tokoh yang mendorong pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih besar bagi perempuan, terkadang di tengah oposisi dari para ulama konservatif yang berkuasa. (Reuters)
Tahun lalu, kerajaan Islam konservatif ini, dimana perempuan harus mendapat izin dari muhrimnya untuk membuat banyak keputusan besar, mengirim atlet-atlet perempuan ke Olimpiade untuk pertama kalinya setelah mendapat tekanan dari kelompok-kelompok hak asasi internasional.
Sampai saat ini, fasilitas olahraga perempuan, termasuk pusat kebugaran, harus mendapat izin dari Kementerian Kesehatan dan ditujukan sebagai “pusat kesehatan.”
Surat kabar Watan yang dimiliki seorang pangeran Saudi, memberitakan bahwa pemerintah telah membentuk komite kementerian untuk mengizinkan klub olahraga perempuan. Kementerian Pemuda dan Olahraganya hanya mengatur klub-klub olahraga laki-laki.
Pada 2009, seorang anggota dewan ulama tertinggi di negara tersebut mengatakan perempuan tidak seharusnya berolahraga karena ada risiko “kehilangan keperawanan” saat selaput dara robek. Sekolah-sekolah negeri khusus perempuan tidak memiliki pelajaran olahraga.
Watan pada Jumat (30/3) mengatakan Kementerian Dalam Negeri telah memutuskan untuk mengizinkan klub olahraga perempuan setelah mengkaji studi yang memperlihatkan kelemahan dalam sistem yang ada.
Pada Agustus, dua perempuan Saudi, seorang atlet yudo dan pelari cepat, menjadi yang pertama yang mewakili negaranya di Olimpiade. Sedikitnya satu dari mereka telah berlatih di luar negeri.
Perempuan Saudi juga dilarang menyetir mobil dan harus mendapat izin dari “wali” laki-laki, biasanya ayah, suami atau abang, untuk menikah, bepergian ke luar negeri, membuka rekening bank, bekerja atau dioperasi.
Pada Januari, Raja Abdullah memilih 30 perempuan untuk Dewan Syuro, sebuah badan yang membahas rancangan undang-undang dan memberikan nasihat tidak terikat untuk pemerintah.
Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, dilihat sebagai tokoh yang mendorong pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih besar bagi perempuan, terkadang di tengah oposisi dari para ulama konservatif yang berkuasa. (Reuters)