AS Masuki Wilayah Politik Tak Terduga Setahun Setelah Kematian Hakim Agung Scalia

Potret mendiang Hakim Agung Antonin Scalia di gedung Mahkamah Agung di Washington.

Untuk pertama kalinya calon hakim Mahkamah Agung pada masa pemilu oleh presiden yang akan berakhir masa jabatannya, dengan sukses dihalangi.

Ketika Hakim Agung AS Antonin Scalia didapati meninggal di kawasan peristirahatan terpencil di Texas, presiden saat itu, Barack Obama, menghadapi momen politik berisiko tinggi.

Saat itu, tepat minggu ini setahun yang lalu adalah masa yang sulit: kurang dari satu tahun masa jabatan Presiden Obama akan berakhir dan persaingan pemilihan presiden sedang berlangsung.

Kematian mendadak Scalia dan kekosongan yang ditimbulkannya di Mahkamah Agung berpotensi mengancam keseimbangan lembaga itu, menyebabkan hakim-hakim yang berpandangan liberal berkuasa untuk pertama kalinya sejak mantan presiden Richard Nixon.

Semuanya bergantung pada presiden mana yang memilih hakim berikutnya: Obama ataukah penggantinya setelah pemilu bulan November. Pertikaian mengenai pertanyaan itu masih membentuk politik Amerika saat ini.

Scalia, hakim agung yang provokatif, kontroversial, karismatik dan sangat dihormati, adalah pribadi yang sangat konservatif dan memaksakan keaslian. Ia seorang hakim yang meninterpretasikan Konstitusi Amerika berdasarkan apa yang dimaksud oleh Pendiri Bangsa tahun 1787. Dengan kata lain, bagi Scalia, Konstitusi bukan pedoman yang bisa berkembang berdasarkan sejarah, juga tidak seharusnya ditafsirkan sebagai apapun selain apa adanya.

“Saya akan mengatakan bahwa keaslian tidaklah sempurna,” kata Scalia ketika memberi kuliah tahun 2010 di University of Virginia. Tapi “dalam meringankan penerapan pembelaan, jangankan keabsahan dan prediksinya, itu jauh melampaui persaingan tersebut”

Obama dengan segera mencalonkan hakim Merrick Garland satu bulan kemudian untuk memenuhi kekosongan di MA. Garland, hakim ketua di pengadilan banding Amerika untuk sirkuit District of Columbia, dipandang luas sebagai hakim berpandangan tengah yang jika dikukuhkan akan menjadi suara penyeimbang di MA.

Merrick Garland, pilihan Barack Obama untuk menggantikan hakim agung Antonin Scalia.

Beberapa hari setelah kematian Scalia, sebagian besar analis politik memperkirakan pencalonan oleh Obama akan sangat dipertentangkan, dan demikianlah adanya.

Pihak Partai Republik menanggapi pilihan Obama dengan menolak memeriksanya, memberlakukan apa yang dikenal sebagai “peraturan Thurmond”. Para senator berargumen bahwa kekosongan itu diisi oleh presiden berikutnya.

Peraturan Thurmond bukanlah undang-undang, melainkan peraturan tidak tertulis yang mengatakan bahwa calon hakim seharusnya tidak dikukuhkan dalam beberapa bulan menjelang pemilu. Peraturan itu dibuat tahun 1968 ketika Strom Thurmond, seorang senator Partai Republik dari South Carolina menghalangi pilihan Presiden Lyndon B Johnson, hakim Abe Fortas sebagai Menteri Kehakiman.

Pemerintah sebaliknya berpendapat Presiden Obama wajib mengisi jabatan itu berdasarkan konstitusi.

“Saya akan memenuhi kewajiban konstitusional saya untuk mencalonkan seorang pengganti pada waktunya,” kata Obama tidak lama setelah kematian Scalia dikukuhkan.

“Akan ada banyak waktu bagi saya untuk melakukannya dan bagi Senat untuk memenuhi kewajibannya untuk memberi calon tersebut sidang dengar pendapat dan pemungutan suara pada waktunya”.

Tapi anggota Kongres Partai Republik mengatakan Obama seharusnya membiarkan “rakyat memutuskan” merujuk pada pemilu presiden bulan November.

Mereka bertekad untuk menghalangi pertimbangan apa pun mengenai hakim Merrick Garland. Mereka menepati janji, menghalangi pencalonan itu berlangsung sampai melewati pemilu yang dimenangkan Donald Trump.

Tanggal 3 Januari, pencalonan Merick berakhir. Strategi Partai Republik berhasil secara politik, memberi Presiden Trump kesempatan untuk mengisi kekosongan itu dan menetapkan preseden baru: untuk pertama kalinya calon hakim Mahkamah Agung pada masa pemilu oleh presiden yang akan berakhir masa jabatannya, dengan sukses dihalangi. [my/al]