Ketua Umum Adeksi Armuji mengatakan lembaganya mendukung Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Hal tersebut disampaikan Armuji setelah bertemu Menko Polhukam Mahfud Md di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (20/2).
Ia beralasan Omnibus Law Ciptaker dapat mempercepat investasi di daerah. Omnibus Law dapat diartikan sebagai membuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.
"Tentunya kalau kita ingin mempercepat investasi mau masuk ke kota kita. Maka tidak perlu peraturan yang aneh dan berbelit-belit," jelas Armuji di Jakarta, Kamis (20/2).
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja, Siapa Untung? Siapa Buntung?Armuji menambahkan lembaganya akan membantu pemerintah dalam mensosialisasikan Omnibus Law Cipataker ke ribuan anggota DPRD dari seluruh Indonesia. Sosialisasi akan dilakukan saat Musyawarah Nasional Adeksi yang akan digelar awal Maret 2020 di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
"Ini kan masih dalam wacana-wacana. Kadangkala ada yang belum baca draf RUU-nya sudah antipati. Kan tidak harus seperti itu. Makanya kita undang menko polhukam, menkumham, mereka yang lebih tahu dan akan bicara dalam acara Munas," tambahnya.
Sementara Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menjelaskan pemerintah pusat tidak boleh mengambil kewenangan daerah dalam menjalankan otonomi daerah dengan menggunakan peraturan pemerintah. Ia beralasan otonomi daerah merupakan amanat konstitusi yang diatur dalam UUD 1945.
Your browser doesn’t support HTML5
Kendati demikian, pantauan KPPOD, sejak 2014 pemerintah mulai memangkas kewenangan pemerintah kota dan kabupaten dalam pemberian perizinan yang dimulai ditarik ke pemerintah provinsi dan sekarang akan ditarik ke pemerintah pusat. Izin yang ditarik tersebut meliputi izin pertambangan, perkebunan, peternakan dan lingkungan.
"Tidak boleh presiden itu mengambil sesukanya tanpa pembahasan dan persetujuan DPR. Dan tentu dalam bentuk Undang-undang, bukan peraturan pemerintah. Kalau kita membaca RUU Ciptaker banyak sekali pasal yang mendelegasikan peraturan lebih lanjut itu ke peraturan pemerintah," jelas Robert kepada VOA, Jumat (21/2).
BACA JUGA: Omnibus Law Ciptaker Dikritik Dua Pusat Studi HukumRobert pesimistis pemerintah daerah akan mau melakukan pengawasan terhadap izin-izin yang diberikan pemerintah pusat jika omnibus cipta kerja sudah disahkan. Sebab, berdasarkan pantauan lembaganya di sejumlah daerah, pengawasan terhadap proyek tertentu tidak berjalan jika diberikan antar instansi yang berbeda.
"Jangankan antar pusat dan daerah, di daerah sendiri kalau dinas perizinan mengeluarkan izin, dinas sektoral yang terkait pengawasan tidak mau. Bayangkan izin kalian, kok saya yang disuruh untuk mengawasi atau bertanggung jawab kalau ada masalah," tambahnya.
Kendati demikian, soal kewenangan presiden dalam mencabut peraturan daerah, KPPOD belum menemukan solusi yang tepat terkait persoalan ini. Sebab, kata dia, lembaganya mencatat ada 347 peraturan daerah yang bermasalah.
Robert mengatakan tidak mudah untuk mencabut peraturan daerah yang kini harus melalui Mahkamah Agung(MA). Antara lain lembaganya tidak memiliki kewenangan untuk menggugat ke MA dan pembiayaan selama proses persidangan. Di sisi lain, warga kabupaten atau kota yang memiliki hak untuk menggugat ke MA, tidak banyak yang mengambil jalur hukum ini.
Rabu (12/2) pekan lalu, pemerintah mengirimkan dokumen Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ke DPR. Omnibus Law Cipta Kerja sejak lama diprioritaskan pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi untuk menggenjot investasi. Karena itu, pasal-pasal di sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi, akan disederhanakan bahkan dihapus.
Selain mengatur soal investasi, RUU ini juga memasukkan revisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Antara lain kewenangan presiden dalam mencabut peraturan daerah dan dapat mendelegasikan peraturan pelaksana kepada kepala daerah. [sm/ft]