Penyerahan itu dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto kepada Ketua DPR Puan Maharani. RUU Cipta Kerja diserahkan bersama naskah akademik dan surat presiden (surpres).
"RUU Cipta Kerja ini dirancang untuk dapat menjawab kebutuhan pekerja, UKM, hingga industri," tulis pernyataan di situs Kemenko Perekonomian.
RUU Cipta Kerja dinamakan omnibus law karena sekaligus mencakup banyak topik.
Beleid ini akan mengubah sejumlah pasal, mulai dari soal lingkungan hidup, perizinan, penataan ruang, pertambangan, kehutanan, kelautan dan perikanan, hingga administrasi pemerintahan.
Dokumen setebal 1028 halaman itu sudah dapat diunduh di situs Kemenko Perekonomian.
Sejak diwacanakan Presiden Joko Widodo, Omnibus Law banyak ditentang kelompok masyarakat.
Kelompok buruh berdemo pada 20 Januari lalu karena menilai RUU itu akan merugikan buruh.
PSHK Ungkap Kejanggalan Prosedural
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai, pemerintah tidak transparan sejak awal.
Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri Damayana mengatakan, pemerintah harusnya menyebarluaskan RUU itu sejak penyusunan.
“Agar publik tidak merespon secara negatif, kenapa tidak sekalian mengikuti prosedurnya secara correct (benar, red) ? Merilis draf RUU Omnibus Cipta Kerja, kemudian naskah akademiknya sekalian, supaya bisa direspon jelas oleh publik?” jelasnya kepada VOA.
“Hal ini sebetulnya nggak sesuai dengan asas-asas UU 12 tahun 2011 mengenai Pembentukan Perundang-Undangan, yaitu asas keterbukaan,” tambah Gita.
Di sisi lain, ujar Gita, Presiden Jokowi sempat meminta kepolisian dan intelijen untuk mendekati ormas yang menolak RUU ini.
“Ini kan sebetulnya janggal ya. Ketika dalam rangka membahas masukan sebuah RUU kenapa justru yang diajakin ngobrol itu bukan pemangku kepentingan—yaitu aparat penegak hukum—apalagi (malah) intelijen gitu,” tambahnya.
Gita mengatakan, DPR juga terkesan tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif.
“DPR justru memberikan pernyataan bahwa mereka ingin sama dengan eksekutif, cepat pembahasan, dan tidak menunjukkan posisi kritis,” tambah lulusan University of Washington, AS, ini.
RUU Ciptaker Dinilai Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Sementara itu Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai RUU ini menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasalnya, menurut Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring, RUU Ciptaker akan mengubah isi sejumlah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP).
“Ketika misalnya PP yang secara hierarkis di bawah UU itu bisa mengubah ketentuan UU, sebenarnya muncul ketidakpastian di sana,” ujarnya kepada VOA.
Para peneliti ICEL telah secara resmi mengajukan permohonan informasi kepada DPR untuk mendapatkan akses terhadap draf RUU Ciptaker dan naskah akademiknya. Namun sampai saat ini ICEL belum mendapatkan informasi yang diperlukan.
Meski begitu, pihaknya telah menganalisa ratusan pasal dalam draf yang beredar di masyarakat. Kesimpulannya, ada disharmoni antara satu revisi dan revisi lain.
“Ini kan ada UU Sumber Daya Alam, Ketenagakerjaan, UU Pers. Itu kan sebenarnya punya dasar berpikir yang berbeda-beda. Ketika dimasukin jadi satu UU, nggak nyambung,” jelasnya.
Karena itu, ujar Raynaldo, RUU Ciptaker justru akan kontraproduktif dengan tujuan untuk mempercepat investasi.
“Investor-investor terutama investor luar negeri yang mereka punya sistem hukum yang baik di negara asalnya, mereka pasti akan enggan masuk ke Indonesia,” tutupnya. [rt/ab]