Seminggu terakhir ini lebih dari seribu warga yang melintasi Jembatan Suramadu telah menjalani tes usap (swab) sebelum memasuki Kota Surabaya. Hasil uji swab antigen itu menunjukkan sekitar 70 orang positif Covid-19.
Langkah ini dilakukan untuk mencegah perebakan virus corona dari Bangkalan ke Surabaya, maupun sebaliknya. Uji usap antigen juga dilakukan penyeberang selat Madura dari Pelabuhan Kamal-Bangkalan, ke Pelabuhan Ujung-Surabaya.
April Nuraini, warga Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura, mengaku warga Bangkalan jarang mengenakan masker, kecuali saat di jalan raya karena takut pemeriksaan oleh polisi. Oleh karena itu, dia tidak keberatan dengan penyekatan dan pemeriksaan warga Bangkalan yang akan masuk ke Surabaya, untuk mencegah perebakan virus corona.
BACA JUGA: Menkes: Corona Varian India Mendominasi DKI Jakarta, Kudus dan BangkalanNamun, ia berharap pemeriksaan yang dilakukan memperhatikan waktu penanganan, sehingga tidak menjadi hambatan warga yang akan bekerja di Surabaya.
“Jadi kalau misalnya mau masuk Surabaya di-swab itu ya setuju-setuju saja. Cuma, kebanyakan orang Kamal itu kan banyak yang kerja di Surabaya. Orang Bangkalan PP (pulang-pergi) Madura-Surabaya, Surabaya-Madura. Nah, ini membutuhkan waktu untuk di-swab. Tidak cukup 15 menit saja," ujar April.
Dia mengeluhkan hanya tiga petugas yang melakukan uji usap, sedangkan warga yang diperiksa cukup banyak hingga menyebabkan antrean.
"Jadi harus antre, terus hasilnya juga menunggu 15 menit," imbuhnya.
Hingga 13 Juni 2021, terdapat lebih dari 2.200 orang terkonfirmasi positif Covid-19 di Kabupaten Bangkalan, Madura. Salah satu penyebab lonjakan kasus COVID-19 di Bangkalan adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan, diantaranya memakai masker.
Warga Kabupeten Sumenep, Madura, Mohammad Tamini, mengatakan banyak warga Madura yang tidak memakai masker saat beraktivitas di luar rumah. Masker hanya digunakan saat berada di jalan raya, agar tidak mendapat sanksi dari petugas. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap ancaman virus corona, kata Tamimi, dipengaruhi kurang tegasnya aparat dan petugas medis di daerah dalam menentukan penyakit pasien yang sebelumnya tidak terkena virus corona menjadi positif terinfeksi corona.
“Di sini orang-orang banyak yang tidak percaya (COVID). Soalnya ada beberapa kejadian di-COVID-nya, akhirnya malah tidak apa-apa. Orang-orang banyak yang berpandangan seperti itu. Ya kadang ada orang yang percaya, ada yang tidak," ujar Tamini.
Namun, dia mengakui setelah ada penyekatan itu sejumlah warga berpikir ulang untuk melintasi Jembatan Suramadu.
Literasi Kesehatan Rendah
Warga Madura memiliki rasa solidaritas dan kebersamaan yang sangat kuat pada sesama, yang tidak saja berdampak positif, tetapi juga negatif. Salah satunya kebiasaan mengantar seorang warga yang sakit secara bersama-sama, yang itu dapat berdampak bagi mudahnya penularan penyakit itu kepada orang lain.
“Kebersamaan orang Madura ini kan sangat kompak, misalnya satu orang sakit, yang mengantar satu kampung. Misalkan, sakit COVID. Terus yang mengantar satu kampung, terus ada sebagian yang tidak pakai masker. NAh otomatis kan juga meningkatkan kasus," ujar April.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo, Madura, Surokim Abdussalam, mengatakan indeks pembangunan manusia (IPM) di Madura yang cenderung masih rendah, menjadi salah satu faktor sulitnya mengatasi persoalan sosial, termasuk problem kesehatan di masyarakat.
Faktor kemiskinan dan pendidikan yang masih rendah di Madura, kata Surokim, mempengaruhi pemahaman masyarakat terhadap persoalan kesehatan yang saat ini juga dialami masyarakat Madura.
“Faktor kemiskinan, faktor pendidikan, itu yang selama ini jadi problem utama di Madura, sehingga itu memiliki efek terhadap kemampuan literasi kesehatan, terutama. Sepanjang itu tidak terkait langsung dengan kehidupan mereka, biasanya menganggap itu sambil lalu saja, antara percaya dan tidak percaya," papar Surokim.
Penyekatan akses masuk ke Surabaya, kata Surokim, menjadi momentum yang baik untuk menyadarkan dan mendidik masyarakat Madura, yang secara ekonomi masih sangat bergantung dengan Surabaya dan kota-kota di sekitarnya.
“Mungkin sosialisasi yang selama ini bisa dirasakan di Madura, itu sepertinya hanya efektif menjangkau di masyarakat urban Madura. Sementara, masyarakat-masyarakat rural area-nya (pedesaan.red), yang kebetulan hari-hari ini kena imbas COVID, itu belum maksimal," kata Surokim.
"Literasi kesehatan di masyarakat kelas bawah, rural area-nya Madura, itu hampir dikatakan sangat tidak maksimal," imbuhnya.
BACA JUGA: Kasus COVID-19 di Bangkalan Meningkat, Pelintas Suramadu DiperiksaLebih jauh Surokim menilai ulama atau tokoh agama di tingkat lokal, yang secara tradisi paling didengar masyarakat, dapat memainkan peran penting untuk mengajak masyarakat bersama-sama melawan virus ini.
“Cara tercepat menurut saya adalah pelibatan kyai kampung secara masif, karena yang dipercaya oleh masyarakat, hari-hari ini ya memang tokoh-tokoh agama di tingkat lokal itu," kata Surokim.
Para tokoh-tokoh agama itu dapat menjelaskan penerapan prokes dan displin 5M kepada masyarakat itu.
"Kalau tanpa keterlibatan ulama dan tokoh masyarakat agama di setiap daerah itu, sepertinya penolakannya masih cukup kuat," tegasnya.
Mohammad Tamimi mengatakan pelibatan ulama-ulama lokal di Madura sangat penting dalam upaya mencegah perebakan virus Corona di masyarakat.
“Tokoh-tokoh agama ini sebenarnya ada yang melakukan (sosialisasi), ada yang tidak. Tapi kalau salah satu pesantren besar di Sumenep itu selalu mengimbau dan menerapkan, terutama memakai masker dan segala macamnya. Orang-orang yang mau memberikan kiriman ke pondok, orang yang mau berkunjung, pokoknya di pondok itu sampai ada protokol kesehatannya," ujar Tamini.
Antropolog FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Pinky Saptandari, mendukung pelibatan ulama dan tokoh masyarakat lokal yang didengar dan dapat bicara dengan bahasa yang mudah dipahami. Terlebih karena kepercayaan warga pada pemerintah cenderung rendah.
“Antara lain kekecewaan, negara dianggap belum atau tidak hadir. Pada saat mereka membutuhkan pemerintah ke mana? kenapa hanya ngatur-ngatur saja?" ujar Pinky.
Ia juga mengkritik cara pemerintah, terutama Kementerian Informasi, dalam menyampaikan informasi mengenai COVID-19.
"Mereka kurang sekali menggunakan bahasa-bahasa rakyat, seperti pandemi, vaksin, tracing. Macam-macamlah yang istilah-istilah medis itu amat membingungkan," katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Pinky Saptandari menambahkan, sudah saatnya pemerintah melakukan pendekatan secara sosial budaya hingga ke level bawah, bukan hanya secara individual tokok-tokoh utama saja. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah perlu ditumbuhkan kembali, sehingga pengaruh sosial kepada masyarakat mampu diubah menjadi kepatuhan sosial, dan menjadi kesepakatan untuk mendukung program yang dijalankan pemerintah.
“Pendekatan yang dilakukan dalam masa pandemi COVID ini masih sangat individual, padahal betapa masyarakat kita itu adalah masyarakat sosial, di mana kepatuhan sosial itu sangat dipengaruhi oleh pengaruh sosial," papar Pinky.
Bentuk-bentuk pengaruh sosial itu mulai dari konformitas, jadi mereka harus konfirmasi. 'Benar (atau) tidak, sih? Kalau kata ustazku bla, bla, bla; kata media begini; kata pemerintah begini, yang harus aku dengarkan siapa? Lalu kemudian baru ada fase berikutnya, kesepakatan," katanya. [pr/em]