Ratusan turis muda, yang kebanyakan berasal dari Barat, terlihat duduk-duduk pada susunan tangga batu di puncak salah satu candi Buddha terbesar di dunia. Mereka sesekali mengecek ponselnya, atau berbisik-bisik dengan kawannya sambil menunggu terbitnya matahari.
Matahari terbit bukan lah sesuatu yang menakjubkan di hari itu. Namun, subuh yang biasa saja di Candi Borobudur, justru mampu menawarkan pengalaman yang tak terlupakan.
Candi Borobudur, yang dibangun pada abad ke-9 tersebut, berada di tengah-tengah Pulau Jawa yang padat berpenduduk dan punya tempat-tempat yang menakjubkan. Sebut saja kompleks candi Hindu Prambanan yang juga merupakan situs Warisan Dunia UNESCO dan salah satu gunung berapi paling aktif di negeri ini, Gunung Merapi. Lerengnya yang ditutupi material lava pun dapat diakses menggunakan mobil jip.
Meski kedua candi ini mengundang banyak turis, kebanyakan dari lainnya memilih menikmati indahnya pantai di Pulau Bali. Memang, Bali menjadi destinasi terpopuler bagi turis yang datang ke nusantara. Menurut data pemerintah, lebih dari enam juta turis berkunjung ke Bali tahun lalu atau menyumbang sekitar 40 persen dari total 15,8 juta turis asing yang datang ke Indonesia.
Presiden Joko Widodo ingin mengubah dinamika ini dengan meluncurkan program “10 Bali Baru” untuk menggenjot dan menambah keragaman pariwisata Indonesia yang juga merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Kunci dari rencana itu adalah perbaikan bandara di tingkat provinsi dan memperbaiki akses menuju destinasi wisata terpencil, seperti Danau Toba di Sumatera Utara. Bandara baru juga akan segera dimiliki Yogyakarta yang diperkirakan akan beroperasi sepenuhnya tahun ini.
Selama ini, Jokowi telah mempromosikan rencana itu dalam pertemuan dengan para pemimpin negara sahabat dan berbagai wawancara, termasuk dengan kantor berita Associated Press. Hal ini dilakukan agar dapat mendorong investasi asing ke dalam negeri. Dalam wawancara dengan AP pada akhir Juli lalu, Presiden mengungkapkan dorongannya agar dapat menjalin lebih banyak relasi bisnis dengan negara-negara Timur Tengah.
BACA JUGA: Lewat Komik “Si Juki,” Pemerintah Perkenalkan 10 Destinasi Bali Baru pada Anak-Anak“Untuk investasi dan pariwisata, kami ingin mengajak investor dari Timur Tengah sebanyak mungkin karena ... kami punya banyak lokasi wisata di Indonesia. Tak cuma satu atau dua atau empat, tetapi banyak,” ungkap Jokowi. Ia sendiri tidak menyebut secara spesifik tempat-tempat tersebut.
Turis muslim, termasuk dari Timur Tengah, bisa jadi sasaran yang lebih tepat mengingat adanya pengembangan destinasi wisata yang berada di area konservatif. Para pejabat pariwisata menepis kekhawatiran tentang kemungkinan gesekan budaya seiring dengan makin banyak turis non-muslim. Alasannya, citra muslim Indonesia yang toleran dapat mengakomodasi setiap turis yang datang.
“Mungkin ada beberapa destinasi yang memiliki aturan (religius) yang sangat ketat,” ujar Hiramsyah Thaib yang mengepalai program “10 Bali Baru” tersebut. “Kami percaya kami tak akan punya masalah apa pun. Sering kali kami diberitakan punya masalah, padahal di kenyataannya tidak.”
Namun, meningkatnya gerakan kaum Muslim garis keras beberapa tahun belakangan, bisa mencoreng citra Indonesia sebagai negara moderat, berpotensi membuat para investor mengurungkan niat untuk berkunjung.
Thaib percaya investor berani untuk datang kembali secara signifikan setelah Jokowi mengalahkan Prabowo Subianto pada pilpres April lalu. Prabowo diketahui didukung oleh kelompok-kelompok yang menginginkan penerapan Syariat Islam.
Rencana itu menjadi salah satu strategi kunci Jokowi dalam lima tahun ke depan, meski salah satu targetnya, 20 juta turis di tahun ini, tampaknya terlalu berambisi. Thaib menjelaskan, berdasarkan data perkembangan terkini, jumlah turis pada 2019 diperkirakan berkisar di angka 18 juta orang.
Sementara itu, berdasarkan data Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia, sektor pariwisata Indonesia tumbuh sebesar 7,8 persen pada 2018. Angka ini merupakan dua kali angka rata-rata dunia.
Satu dari 10 lokasi yang masuk ke dalam pengembangan tersebut adalah kompleks Candi Borobudur dan Kota Yogyakarta.
BACA JUGA: Perlukah Wisata Halal?Pada 2017, Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama beserta keluarga mengunjungi Yogyakarta. Mendiang ibu Obama, Ann Dunham, menghabiskan waktu bertahun-tahun melakukan penelitian antropologi. Selama di sana, Obama yang pernah menghabiskan waktu masa kecil di Indonesia, mengunjungi Borobudur dan Prambanan selama perjalanan nostalgianya.
Namun, di saat Obama bisa menjelajah dengan sangat mudah menggunakan jet pribadi, turis awam harus berjuang dengan padatnya jalanan yang dipenuhi oleh pengendara roda dua yang meliuk-liuk di sela kemacetan jalan.
Untuk dapat sampai di Borobudur tepat sebelum matahari terbit, para pelancong butuh waktu 90 menit untuk menempuh perjalanan 40 kilometer dari Yogyakarta. Destinasi yang lebih jauh lagi, Dataran Tinggi Dieng yang dikenal dengan lanskap terasering, kompleks candi, dan Telaga Warna Dieng, membutuhkan waktu sehari dan jarak 230 kilometer perjalanan dari Yogyakarta. Sebagian jalanan menuju Dieng pun masih tidak rata.
Anton McLaughlin (55), Seorang turis dari York, Inggris, mengungkapkan bahwa Ia tercengang dengan jumlah motor yang lalu lalang di jalanan. Ditemui saat tur menumpangi mobil jip di Lereng Merapi, Ia semakin menyadari bencana alam yang harus dihadapi warga Indonesia.
Memang, Indonesia berada dalam Cincin Api Pasifik yang membuat negeri ini rentan terhadap gempa bumi, tsunami, dan erupsi vulkanik. Letusan besar Merapi pada 2010 lalu misalnya, menelan 347 korban jiwa. Puing-puing dari dusun yang hancur oleh letusan Merapi kini menjadi bagian dari tur wisata.
“Orang-orang di sini tetap terus bertahan hidup,” kata McLaughlin.
Hanya sehari setelah tur itu, Merapi melontarkan awan panas dan pijaran lava yang mengalir sejauh dua kilometer pada lerengnya. Tidak ada korban maupun kerusakan berdasarkan laporan yang masuk.
BACA JUGA: Mahalnya Tiket Pesawat, Pukulan Pedas Pariwisata LombokLain halnya dengan turis asal Zwolle, Belanda, Jan Tenbrinke (37). Bali menjadi destinasi berikutnya bagi keluarga Tenbrinke yang beranggotakan empat orang. Namun, Ia berharap dapat lebih memahami budaya Indonesia di Yogyakarta.
Thaib mengakui bahwa masih ada kekurangan yang harus terus diatasi. Ia pun menuturkan bahwa Indonesia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara Asia lain, termasuk Thailand yang telah mengembangkan industri pariwisatanya lebih dulu.
“Masih banyak yang harus dikerjakan,” ungkapnya, senada dengan slogan pemerintahan saat ini. “Kami percaya, kami berada di jalur yang tepat.” [ga/ft]