Pemerintah provinsi Bali diminta untuk melibatkan para pekerja seks untuk lebih optimal dalam menanggulangi penyakit HIV/AIDS.
DENPASAR —
Aktivis HIV/AIDS di Bali meminta pemerintah provinsi tersebut untuk melibatkan pekerja seks dalam menanggulangi penyakit tersebut, apalagi karena sebagian besar penyebaran HIV berawal dari hubungan dengan pekerja seks.
Koordinator lapangan Yayasan Kerti Praja, Dewa Nyoman Suyetna dalam keterangannya di Denpasar pada Sabtu siang (15/6), saat ini di Bali terdapat sekitar 3.000 pekerja seks dan 20 persen diantaranya adalah positif HIV. Dalam satu tahun, jumlah pelanggan pekerja seks di Bali mencapai sekitar 80.000 orang, ujarnya, sehingga pelibatan pekerja seks diharapkan dalam mengurangi penyebaran HIV melalui penggunaan kondom.
Menurut Suyetna, langkah lainnya yang juga dapat dilakukan adalah melalui pembentukan kelompok kerja (pokja) di lokasi-lokasi tempat pekerja seks tinggal. Pembentukan pokja yang melibatkan pekerja seks, mucikari dan aparat desa bertujuan untuk mempermudah melakukan penyuluhan dan pengecekan kesehatan secara rutin, ujarnya.
“Kita yang memberikan penyuluhan atau germonya yang memberikan penyuluhan. Kedua, mereka harus menyiapkan anak buahnya kalau ada penyuluhan. Ketiga, mereka harus menganjurkan anak buahnya untuk periksa IMS (infeksi menular seksual). Keempat, mereka harus menyediakan kondom dan menganjurkan pemakaiannya,” ujar Suyetna.
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali jumlah kasus HIV/AIDS di Bali hingga Maret 2013 mencapai 7.551. Dari jumlah tersebut tercatat 76,9 persen penularannya melalui hubungan heteroseksual.
Sementara itu, hasil survei terhadap perilaku gay dan waria di Bali, yang dilakukan Yayasan Gaya Dewata selama Mei 2013 hingga Juni 2013 terhadap 400 gay dan waria di Bali, menunjukkan 85 persen gay dan waria di provinsi itu memiliki kesadaran untuk melakukan tes HIV/AIDS secara sukarela.
Direktur Yayasan Gaya Dewata Christian Supriyadinata mengatakan, meningkatnya kesadaran gay dan waria melakukan tes HIV di klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) atau klinik konseling dan tes sukarela karena tersediannya klinik VCT di seluruh rumah sakit dan beberapa puskesmas di Bali.
“Sekarang ini layanan di Bali sudah lumayan banyak, khususnya di Denpasar sudah banyak sekali ada layanan, tiap kecamatan ada termasuk puskesmas, terus rumah sakit semua ada layanan VCT, artinya mereka sudah tahu sudah sadar akhirnya memeriksakan diri,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Bali dr Ketut Suarjaya mengakui sedang berusaha memperluas layanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk merancang program pendidikan mengenai HIV/AIDS bagi pelajar di Bali.
“Tambahan pengetahuan tentang HIV sudah harus dimulai dari tingkat anak sekolah, itu pemahamannya harus mulai dari sana, sehingga ada suatu kurikulum khusus tentang HIV pada murid,” ujarnya.
Koordinator lapangan Yayasan Kerti Praja, Dewa Nyoman Suyetna dalam keterangannya di Denpasar pada Sabtu siang (15/6), saat ini di Bali terdapat sekitar 3.000 pekerja seks dan 20 persen diantaranya adalah positif HIV. Dalam satu tahun, jumlah pelanggan pekerja seks di Bali mencapai sekitar 80.000 orang, ujarnya, sehingga pelibatan pekerja seks diharapkan dalam mengurangi penyebaran HIV melalui penggunaan kondom.
Menurut Suyetna, langkah lainnya yang juga dapat dilakukan adalah melalui pembentukan kelompok kerja (pokja) di lokasi-lokasi tempat pekerja seks tinggal. Pembentukan pokja yang melibatkan pekerja seks, mucikari dan aparat desa bertujuan untuk mempermudah melakukan penyuluhan dan pengecekan kesehatan secara rutin, ujarnya.
“Kita yang memberikan penyuluhan atau germonya yang memberikan penyuluhan. Kedua, mereka harus menyiapkan anak buahnya kalau ada penyuluhan. Ketiga, mereka harus menganjurkan anak buahnya untuk periksa IMS (infeksi menular seksual). Keempat, mereka harus menyediakan kondom dan menganjurkan pemakaiannya,” ujar Suyetna.
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali jumlah kasus HIV/AIDS di Bali hingga Maret 2013 mencapai 7.551. Dari jumlah tersebut tercatat 76,9 persen penularannya melalui hubungan heteroseksual.
Sementara itu, hasil survei terhadap perilaku gay dan waria di Bali, yang dilakukan Yayasan Gaya Dewata selama Mei 2013 hingga Juni 2013 terhadap 400 gay dan waria di Bali, menunjukkan 85 persen gay dan waria di provinsi itu memiliki kesadaran untuk melakukan tes HIV/AIDS secara sukarela.
Direktur Yayasan Gaya Dewata Christian Supriyadinata mengatakan, meningkatnya kesadaran gay dan waria melakukan tes HIV di klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) atau klinik konseling dan tes sukarela karena tersediannya klinik VCT di seluruh rumah sakit dan beberapa puskesmas di Bali.
“Sekarang ini layanan di Bali sudah lumayan banyak, khususnya di Denpasar sudah banyak sekali ada layanan, tiap kecamatan ada termasuk puskesmas, terus rumah sakit semua ada layanan VCT, artinya mereka sudah tahu sudah sadar akhirnya memeriksakan diri,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Bali dr Ketut Suarjaya mengakui sedang berusaha memperluas layanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk merancang program pendidikan mengenai HIV/AIDS bagi pelajar di Bali.
“Tambahan pengetahuan tentang HIV sudah harus dimulai dari tingkat anak sekolah, itu pemahamannya harus mulai dari sana, sehingga ada suatu kurikulum khusus tentang HIV pada murid,” ujarnya.