Kementerian Pekerjaan Umum menyatakan jumlah penduduk Indonesia yang memiliki akses layanan sanitasi layak baru mencapai sekitar 51 persen.
Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan bidang sanitasi tingkat menteri wilayah Asia Timur yang diadakan di Bali mulai Senin (10/9) sampai Rabu dan dihadiri perwakilan dari 12 negara.
Penelitian yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Unicef menyatakan lebih dari 671 juta orang di Asia Timur tidak menggunakan fasilitas sanitasi yang layak. Lebih dari 450 juta kasus diare terjadi setiap tahun, sedangkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit terkait air dan sanitasi meningkat hampir 150 ribu per tahun.
Kepala Pengaturan dan Pembinaan Kelembagaan Penyehatan Lingkungan Pemukiman pada Kementerian Pekerjaan Umum, Ema Sujima, mengatakan baru 51 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak.
Hingga saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang buang air besar sembarangan seperti di sungai dan lahan kosong. Oleh karena itu kata Ema pemerintah terus berupaya meningkatkan akses sanitasi salah satunya melalui Program sanitasi berbasis masyarakat.
Menurutnya, pihaknya menargetkan 230 kabupaten dan kota pada 2014 telah memiliki strategi sanitasi.
“Kita harus meningkatkan cakupan layanan sanitasi. Masalah sanitasi, masalah air limbah domestik yang dihasilkan…dalam rumah tangga itu banyak yang masih buang air besar sembarangan,” ujarnya.
Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Wilfried Purba mengatakan sanitasi yang layak di Jakarta cukup tinggi, sedangkan Nusa Tenggara Timur paling rendah.
Menurut Wilfried, pihaknya terus melakukan upaya untuk merubah perilaku masyarakat menjadi sehat.
“Satu, stop buang air besar sembarangan. Dua, cuci tangan pakai sabun. Ketiga, penyediaan air minum rumah tangga, keempat pengelolaan limbah rumah tangga dan terakhir pengelolaan limbah. Jadi dari lima pilar ini kita harus serentak sama-sama tetapi kita kita harus memperhatikan kondisi,” ujarnya.
Koordinator sanitasi nasional dari Enviromental Services Program (ESP) milik lembaga bantuan Amerika (USAID) Winarko Hadi mengatakan sanitasi saat ini tidak dianggap sebagai suatu yang penting karena masyarakat beranggapan buang air sembarangan, buang sampah sembarangan itu tidak akan merugikan dia.
“Nah [persepsi] itu kemudian yang [harus] diubah, bahwa itu mengakibatkan kerugian baik materil maupun imateril bagi masyarakat secara keseluruhan,” katanya.
Sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan kualitas sanitasi Indonesia menempati posisi ketiga terendah di ASEAN.
Buruknya sanitasi juga ditunjukkan oleh data mengenai tingginya tingkat pencemaran air di Indonesia, yaitu mencapai 76,3 persen dari 53 sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi.
Penelitian yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Unicef menyatakan lebih dari 671 juta orang di Asia Timur tidak menggunakan fasilitas sanitasi yang layak. Lebih dari 450 juta kasus diare terjadi setiap tahun, sedangkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit terkait air dan sanitasi meningkat hampir 150 ribu per tahun.
Kepala Pengaturan dan Pembinaan Kelembagaan Penyehatan Lingkungan Pemukiman pada Kementerian Pekerjaan Umum, Ema Sujima, mengatakan baru 51 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak.
Hingga saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang buang air besar sembarangan seperti di sungai dan lahan kosong. Oleh karena itu kata Ema pemerintah terus berupaya meningkatkan akses sanitasi salah satunya melalui Program sanitasi berbasis masyarakat.
Menurutnya, pihaknya menargetkan 230 kabupaten dan kota pada 2014 telah memiliki strategi sanitasi.
“Kita harus meningkatkan cakupan layanan sanitasi. Masalah sanitasi, masalah air limbah domestik yang dihasilkan…dalam rumah tangga itu banyak yang masih buang air besar sembarangan,” ujarnya.
Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Wilfried Purba mengatakan sanitasi yang layak di Jakarta cukup tinggi, sedangkan Nusa Tenggara Timur paling rendah.
Menurut Wilfried, pihaknya terus melakukan upaya untuk merubah perilaku masyarakat menjadi sehat.
“Satu, stop buang air besar sembarangan. Dua, cuci tangan pakai sabun. Ketiga, penyediaan air minum rumah tangga, keempat pengelolaan limbah rumah tangga dan terakhir pengelolaan limbah. Jadi dari lima pilar ini kita harus serentak sama-sama tetapi kita kita harus memperhatikan kondisi,” ujarnya.
Koordinator sanitasi nasional dari Enviromental Services Program (ESP) milik lembaga bantuan Amerika (USAID) Winarko Hadi mengatakan sanitasi saat ini tidak dianggap sebagai suatu yang penting karena masyarakat beranggapan buang air sembarangan, buang sampah sembarangan itu tidak akan merugikan dia.
“Nah [persepsi] itu kemudian yang [harus] diubah, bahwa itu mengakibatkan kerugian baik materil maupun imateril bagi masyarakat secara keseluruhan,” katanya.
Sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan kualitas sanitasi Indonesia menempati posisi ketiga terendah di ASEAN.
Buruknya sanitasi juga ditunjukkan oleh data mengenai tingginya tingkat pencemaran air di Indonesia, yaitu mencapai 76,3 persen dari 53 sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi.