Bencana kabut asap yang melanda sejumlah kawasan di Sumatera dan Kalimantan ternyata menyimpan ancaman kesehatan yang mengerikan.
Dalam 10 tahun ke depan, ahli memperkirakan terjadinya ledakan kasus penyakit paru berat di kawasan Riau dan sekitarnya akibat kabut asap yang terjadi setiap tahun, bahkan bisa beberapa kali per tahun.
Tidak hanya sesak nafas, penyakit yang kemungkinan besar muncul adalah bronkhitis akut, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang bisa mengakibatkan gagal nafas dan juga kanker paru, menurut Dr. Azizman Saad, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
“Jadi dampaknya setelah 10 tahun ke depan, dalam jangka panjang, masyarakat Riau ini akan banyak yang PPOK, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, dan menderita kanker paru. Dan itu terutama pada warga berusia di atas 40 tahun dan para manula, sedangkan pada anak-anak akan menyebabkan radang paru, bronkhitis, pneumonia yang bisa menyebabkan kematian,” ujar Azizman baru-baru ini.
Ia menambahkan, sulit sekali mencegah ancaman penyakit seperti kanker paru di masa depan, karena asap ini memiliki partikel yang sangat kecil. Masker yang biasa dipakai masyarakat tidak efektif, karena partikel-partikel ini masih bisa melewati pori-porinya, ujarnya, sedangkan masker yang bisa seratus persen menahan partikel asap harganya tidak murah.
Dalam banyak kasus, kata Azizman, satu-satunya rekomendasi yang diberikan bagi kelompok masyarakat ini hanya meninggalkan Riau untuk sementara waktu.
“Sekarang penyakit PPOK itu penyebab kematian nomor enam di Indonesia. Sedangkan bagi kami di Riau, dalam 10 penyakit terbanyak penyebab kematian, PPOK ada di urutan nomor tiga. Nanti, dalam 10 tahun ke depan mungkin akan menjadi penyakit nomor satu terbanyak sebagai penyebab kematian,” ujarnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan kepada VOA mengatakan, bencana kabut asap yang setiap tahun terjadi adalah bukti bahwa pemerintah tidak belajar dari masa lalu.
Bencana ini sudah terjadi rutin setiap tahun sejak 1997. Untuk tahun ini, kata Riko, Badan Meteorologi dan Geofisika sudah mendeteksi titik api sejak Januari lalu, namun upaya pemadaman baru dilakukan dalam beberapa minggu terakhir.
Walhi mendesak Presiden SBY untuk tidak menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gambut. RPP ini berpotensi membuka peluang alih fungsi lahan gambut, yang akan membuat bencana kabut asap di masa depan semakin mengerikan.
“Rusaknya gambut itu akibat alih fungsi menjadi perkebunan dan HTI, Hutan Tanaman Industri. Dimana lahan gambut ini dibuka dan dirusak dan membuatnya menjadi kering dan gampang terbakar. Nah, RPP Gambut yang saat ini sedang dibahas dan akan ditandatangani oleh presiden, itu berpotensi akan mengalihfungsikan lahan gambut di Indonesia, yang menurut Walhi ada potensi 6 juta hektar lahan gambut yang akan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan akasia. Kalau lahan gambut dirusak, dampak kebakaran itu akan semakin luas,” ujarnya.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat, hingga saat ini sudah ada sekitar 38 ribu warga masyarakat yang terserang penyakit terkait pernafasan. Jumlah ini melonjak drastis, karena akhir minggu lalu angkanya masih berada pada 27 ribu orang.
Pemerintah sendiri melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah melakukan upaya pemadaman. Namun, seperti disampaikan Riko Kurniawan, lahan gambut yang sudah terbakar sangat sulit untuk dipadamkan, karena bara api berada beberapa meter di bawah permukaan.
Tidak hanya sesak nafas, penyakit yang kemungkinan besar muncul adalah bronkhitis akut, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang bisa mengakibatkan gagal nafas dan juga kanker paru, menurut Dr. Azizman Saad, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
“Jadi dampaknya setelah 10 tahun ke depan, dalam jangka panjang, masyarakat Riau ini akan banyak yang PPOK, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, dan menderita kanker paru. Dan itu terutama pada warga berusia di atas 40 tahun dan para manula, sedangkan pada anak-anak akan menyebabkan radang paru, bronkhitis, pneumonia yang bisa menyebabkan kematian,” ujar Azizman baru-baru ini.
Ia menambahkan, sulit sekali mencegah ancaman penyakit seperti kanker paru di masa depan, karena asap ini memiliki partikel yang sangat kecil. Masker yang biasa dipakai masyarakat tidak efektif, karena partikel-partikel ini masih bisa melewati pori-porinya, ujarnya, sedangkan masker yang bisa seratus persen menahan partikel asap harganya tidak murah.
Dalam banyak kasus, kata Azizman, satu-satunya rekomendasi yang diberikan bagi kelompok masyarakat ini hanya meninggalkan Riau untuk sementara waktu.
“Sekarang penyakit PPOK itu penyebab kematian nomor enam di Indonesia. Sedangkan bagi kami di Riau, dalam 10 penyakit terbanyak penyebab kematian, PPOK ada di urutan nomor tiga. Nanti, dalam 10 tahun ke depan mungkin akan menjadi penyakit nomor satu terbanyak sebagai penyebab kematian,” ujarnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan kepada VOA mengatakan, bencana kabut asap yang setiap tahun terjadi adalah bukti bahwa pemerintah tidak belajar dari masa lalu.
Bencana ini sudah terjadi rutin setiap tahun sejak 1997. Untuk tahun ini, kata Riko, Badan Meteorologi dan Geofisika sudah mendeteksi titik api sejak Januari lalu, namun upaya pemadaman baru dilakukan dalam beberapa minggu terakhir.
Walhi mendesak Presiden SBY untuk tidak menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gambut. RPP ini berpotensi membuka peluang alih fungsi lahan gambut, yang akan membuat bencana kabut asap di masa depan semakin mengerikan.
“Rusaknya gambut itu akibat alih fungsi menjadi perkebunan dan HTI, Hutan Tanaman Industri. Dimana lahan gambut ini dibuka dan dirusak dan membuatnya menjadi kering dan gampang terbakar. Nah, RPP Gambut yang saat ini sedang dibahas dan akan ditandatangani oleh presiden, itu berpotensi akan mengalihfungsikan lahan gambut di Indonesia, yang menurut Walhi ada potensi 6 juta hektar lahan gambut yang akan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan akasia. Kalau lahan gambut dirusak, dampak kebakaran itu akan semakin luas,” ujarnya.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat, hingga saat ini sudah ada sekitar 38 ribu warga masyarakat yang terserang penyakit terkait pernafasan. Jumlah ini melonjak drastis, karena akhir minggu lalu angkanya masih berada pada 27 ribu orang.
Pemerintah sendiri melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah melakukan upaya pemadaman. Namun, seperti disampaikan Riko Kurniawan, lahan gambut yang sudah terbakar sangat sulit untuk dipadamkan, karena bara api berada beberapa meter di bawah permukaan.