Rumah instan sederhana sehat (risha) merupakan bentuk hunian yang didirikan untuk pemulihan pemukiman di Sulawesi Tengah pascabencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi tahun 2018 silam.
Risha merupakan rumah dengan konsep knock down, di mana proses pembangunannya tidak membutuhkan semen dan bata, melainkan dengan menggabungkan panel-panel beton dengan baut.
Yuli Kusworo, direktur Yayasan Arsitek Komunitas Indonesia (YAI) mengatakan akan membangun setidaknya 100 unit hunian dengan teknologi Risha untuk penyintas bencana di kota Palu dan Kabupaten Donggala. YAI telah membuat dua bengkel yang memproduksi komponen risha yang disebut panel P1, P2 dan P3. Bengkel itu turut menggunakan tenaga kerja warga setempat yang telah diberikan pelatihan di Bina Kontruksi Sulteng dan mendapat sertifikat keahlian pembuatan komponen tersebut. Kedua bengkel itu berada di Kelurahan Layana kota Palu dan di Sirenja, Kabupaten Donggala.
BACA JUGA: Tidak Ingin Jauh dari Pesisir, Nelayan Teluk Palu Inginkan Relokasi MandiriYuli menjelaskan teknologi risha memberikan ruang untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat. Setidaknya 60 persen anggaran pembuatan satu unit risha dapat dikembalikan sebagai upah tenaga kerja untuk warga yang dilibatkan dalam pembuatannya.
“Enam puluh persen itu paling tidak begini jadi uang dari pemerintah ini kan 50 juta. 50 juta ini kalau dihitung ada komponen-komponennya yang bisa masuk ke masyarakat, dikelola oleh masyarakat. Misalnya tadi untuk membuat Risha 25 juta, jadi 25 juta, artinya itu dari risha sudah masuk ke masyarakat, mulai dari potong besinya, ngerakit besinya, ngecornya, merangkainya. Itu komponennya sudah 25 juta,” jelas Yuli saat ditemui VOA dibengkel Risha di kelurahan Layana, Kota Palu (9/2).
“Kemudian naik lagi bikin pintu, jendela, kusen, masang rangka atap itu semuanya masyarakat bisa terlibat. Nah dengan konsep seperti itu kita bisa menyimpulkan paling tidak 60 persen dari biaya pembangunan rumah ini, itu bisa bergulir di masyarakat,” tambahnya.
Beroperasi sejak 20 Januari 2020, bengkel itu kini memperkerjakan 16 orang yang 6 diantaranya diantaranya adalah warga masyarakat setempat. Sedangkan 10 lainnya adalah tukang dari Bandung.
Johan seorang warga kelurahan Mamboro menjelaskan rata-rata mereka bisa mendapat pendapatan 200 ribu per hari, sebuah jumlah yang menurutnya lumayan dibandingkan situasi sebelumnya dia hanya bekerja serabutan sebagai pembantu tukang bangunan.
“Kalau mereka kerjakan sehari, satu juta empat ratus ribu rupiah per hari, mereka bagi lima orang itu bisa 200 ribu lebih per hari sedangkan gaji-gaji tukang di Palu itu 100 sampai 150 ribu rupiah per hari,” ungkap Johan yang kehilangan rumah dan ibunya dalam peristiwa tsunami 28 September 2018 silam.
Setiap unit Risha tipe 36 yang akan dibangun oleh Arkom tersebut membutuhkan 138 komponen panel beton P1, P2 dan P3. Johan mengatakan rata-rata mereka dapat membuat empat unit risha dalam seminggu.
Your browser doesn’t support HTML5
Transfer Pengetahuan
Yuli Kusworo mengatakan keberadaan 10 orang tukang dari Bandung juga memberikan kesempatan untuk mentransfer pengetahuan teknik pengecoran dan pembesian yang cepat dan tepat sesuai standar bangunan tahan gempa.
“Ini ada kesempatan belajar yang luar biasa yang kemudian mereka bisa terlibat dan bisa menjadi ahli. Itu konsern kita”ungkap Yuli.
Dia menekankan pembangunan hunian tetap untuk penyintas bencana alam di Sulawesi Tengah juga harus disertai dengan peningkatan kapasitas dan ekonomi warga yang diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses itu.
Secara keseluruhan terdapat 11.788 unit hunian tetap yang akan dibangun di sejumlah lokasi baik di kota Palu maupun Kabupaten Sigi, baik oleh lembaga non pemerintah maupun oleh Kementerian PUPR. [yl/ii]