Perkembangan dan popularitas kelompok-kelompok gamelan ini karena peran dan dukungan perorangan yang memiliki hobi dan kecintaan pada seni musik gamelan maupun berbagai universitas yang memfasilitasi ketersediaan guru, perangkat gamelan, serta wadah bagi civitas academica yang berminat untuk berlatih dan berpentas.
Selain karena peran dan dukungan perorangan yang mencintai seni musik gamelan, banyak warga Amerika mengenal dan kemudian berminat untuk belajar dan bermain gamelan karena peran perguruan tinggi yang memperkenalkan dan ikut mempopulerkan seni musik itu di kampus.
BACA JUGA: Kolaborasi Dalang Bali dengan Pemusik AmerikaBanyak perguruan tinggi memasukkan seni gamelan dalam daftar mata kuliah pilihan maupun sebagai konsentrasi dalam jurusan musik. Selain itu, beberapa perguruan tinggi juga menyediakan wadah (tempat dan peralatan) serta guru gamelan bagi kalangan civitas academica yang berminat untuk mengikuti latihan atau sekedar mengapresiasi musik gamelan sebagai kegiatan ekstra kurikuler.
Banyak tokoh musik gamelan dan wayang di Amerika mengakui peran kampus-kampus itu dan mengatakan tidak sedikit dari mereka yang jatuh cinta dengan musik gamelan dan wayang ketika menyelesaikan studi di alma mater mereka.
Peran universitas dalam mempopulerkan gamelan dan wayang ini dibenarkan oleh beberapa tokoh gamelan dan wayang Jawa atau Bali di Amerika.
Profesor Sumarsam, diaspora Indonesia yang kini menjabat sebagai guru besar tetap etnomusikologi serta mengajar gamelan di Universitas Wesleyan di Connecticut sejak tahun 1971, mengatakan Universitas California di Los Angeles (UCLA) merupakan perintis berkembangnya musik gamelan di Amerika karena universitas itulah yang pertama kali mamasukkan musik gamelan sebagai salah satu program studi yang ditawarkan.
“Gamelan khususnya itu lebih banyak dikenalkan melalui Universitas. Dari awalnya yang memasukkan gamelan dalam kurikulum Universitas yaitu UCLA – University of California Los Angeles – awal 1960an. Lulusan-lulusan dari UCLA yang disiplinnya adalah etnomusikologi mendapatkan pekerjaan di beberapa universitas di Amerika,” paparnya.
Dari universitas, gamelan kemudian dibawa ke luar kampus dan berkembang di masyarakat, hingga membentuk kelompok ensembel gamelan.
“Berkembang memang, berkembang dari hubungannya dengan universitas lalu sekarang ada masyarakat-masyarakat yang punya perkumpulan gamelan. Pernah dihitung sampai 200-an perkumpulan gamelan yang ada di Amerika , tapi saya kira ada yang aktif ada yang nonaktif,” imbuh Sumarsam.
Profesor Sumarsam mengatakan bahwa Universitas Wesleyan tempatnya mengajar sangat peduli dengan program world music (musik dunia), terutama dari Afrika, India, dan gamelan dari Indonesia. Ketiga program musik dunia ini terus bertahan dari tahun 1960-an, dan jumlah mahasiswa gamelan sejak itu hingga sekarang tidak mengalami banyak perubahan. Bahkan, katanya pada semester musim semi biasanya banyak mahasiswa yang ditolak karena jumlah pendaftar melebihi kapasitas.
Menurut Profesor Sumarsam, mahasiswa yang mengambil mata kuliah gamelan bukan hanya mahasiswa musik tetapi dari berbagai jurusan lain, misalnya matematika, sains, teknik, ilmu-ilmu sosial dan bahkan studi agama. Selain untuk apresiasi dan pengetahuan, mereka umumnya ingin mendalami rasa kesenian melalui gamelan.
BACA JUGA: Tiga Biduan AS Nyanyi Dangdut, Keroncong, dan Nyinden, Rindu Nongkrong di Kampung
Rasa ingin tahu yang akhirnya menjurus pada pendalaman dan pengabdian penuh pada seni gamelan juga dirasakan oleh Jody Diamond, seorang tokoh dan komponis musik gamelan di Amerika. Dia merasa terpanggil untuk mendalami musik gamelan pada usia 17 tahun ketika mulai kuliah di California Institute of the Arts (Institut Seni California/CalArts). Di kampus itu pula dia pertama kali dalam hidupnya melihat alat musik gamelan yang sangat unik.
Jody mengaku jatuh cinta dengan gamelan pada pandangan pertama di kampus yang didirikan oleh Walt Disney itu dan sejak itu hingga sekarang dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengembangkan dan mempromosikan gamelan di Amerika.
“Saya orang Amerika, tetapi di dalam jiwa saya juga ada orang Indonesia. Kenapa? Karena sejak saya berumur 17 tahun saya jatuh cinta dengan kesenian Indonesia terutama gamelan. Karena saya pengalaman saya dengan gamelan sejak pertama kali saya ketemu, selama hidup saya terlibat dengan kesenian gamelan dalam beberapa peranan, termasuk sebagai murid, sebagai mahasiswa, menjadi guru, juga penulis dan komponis gamelan,” tuturnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Jody menceritakan pengalamannya pada awal belajar gamelan ketika dia merasakan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya,
“Saya mendengar suara kecil di dalam kepala saya, I am going to play this music the rest of my life. Selama saya hidup, saya akan memainkan musik ini. Gamelan menjadi jiwa seni saya. Saya tidak merencanakan belajar musik tetapi gamelan menangkap saya dan saya tetap di dalam kamar gamelan itu sampai sekarang,” tukasnya.
Jody Diamond mengutip seorang gurunya yang mengatakan bahwa dari gamelan orang tidak hanya mendapat pelajaran musik tetapi juga pelajaran kehidupan, tidak hanya pelajaran tentang bagaimana memainkan alat musik tetapi juga “pelajaran tentang bagaimana menjadi orang yang bagus, orang yang halus", dan karena itulah banyak orang Amerika jatuh cinta dengan gamelan.
“Sebenarnya di dalam pelajaran gamelan ada ilmu kehidupan. Tidak hanya musik, tetapi bagaimana seseorang dapat hidup di dalam dunia ini dengan baik. Saya tahu banyak orang Amerika yang jatuh cinta dengan gamelan karena itu, karena mereka merasa wah saya mendapat ilmu bagaimana saya bisa bekerja sama dengan orang lain, bagaimana saya tidak selalu menonjolkan diri, Saya tidak berperasaan saya orang yang paling penting,” tambah Jody.
Menurut Jody saat ini gamelan Indonesia, termasuk Jawa, Bali, Sunda, Banyumas, sudah ada di lebih dari 25 negara dan menurutnya gamelan merupakan kendaraan kebudayaan Indonesia ke seluruh dunia. “Di Amerika saja ada lebih dari 180 kelompok gamelan,” pungkasnya.
Seorang warga Amerika lainnya, Larry Reed, seorang dalang yang sangat dikenal di dunia perwayangan di seluruh dunia, jatuh cinta dengan gamelan dan wayang Bali sejak dia berkunjung ke Pulau Bali, pada tahun 1970. Sebagai seorang aktor dan sutradara, dia sebelumnya tidak pernah belajar musik, apalagi gamelan. Kunjungannya ke Bali dimaksudkan untuk mempelajari hal yang baru, utamanya seni topeng Bali, tetapi ketika tiba di Pulau Dewata itu, orang-orang yang ditemuinya mengatakan bahwa dia mesti belajar gamelan Bali terlebih dahulu.
“Pada waktu itu saya hanya tertarik dengan teater, terutama dengan topeng-topeng yang ada di Bali. Lantas, ketika saya baru tiba di Bali mereka bilang saya harus belajar main musik dulu, padahal saya sama sekali belum pernah punya pengalaman main musik, bahkan menyanyi pun saya tidak bisa. Waktu di Bali saya melihat topeng dan wayang kulit dan saya tertarik sekali. Itu tahun 1970,” ujar Larry.
Setelah kembali ke Amerika, Larry baru mengetahui bahwa di California ada perguruan tinggi musik, Center for World Music yang mengajarkan musik dari berbagai belahan dunia, termasuk gamelan dari Indonesia. Di situ pula bisa akhirnya menekuni gamelan dan wayang dengan guru dari Indonesia.
“Saya belajar main wayang Jawa dan saya senang sekali dengan itu. Selama beberapa bulan, setiap hari kami belajar dan dalangnya, Pak Umar Topo, menjelaskan berbagai hal tentang Mahabharata yang menarik sekali. Tetapi, sukarnya kalau mau main wayang Jawa alatnya berat dan banyak sekali dan mesti ada banyak penabuh dan sebagainya. Jadi, setelah beberapa tahun saya mulai belajar wayang Bali dengan Pak Nyoman Sumandi di sekolah yang sama, dan saya tertarik sekali dengan itu dan saya bertanya apakah ada kemungkinan saya pergi ke Bali untuk mendalami itu. Sejak itu saya bolak balik pergi ke Bali untuk mendalami lagi selama 20 tahun,” ungkapnya.
Larry Reed menambahkan bahwa dia hormat sekali dengan dunia wayang karena menurutnya filosofi wayang dalam sekali, “tidak kelihatan tetapi penting sekali, dan itulah yang ingin saya bagikan kepada orang lain, termasuk perasaan hormat dan apresiasi kepada orang lain di mana saja. Jadi, saya harus mengakui inspirasi saya datang dari Indonesia, dari wayang, karena filosofinya dalam sekali.”
Selain peran penting universitas-universitas di Amerika dalam memperkenalkan dan mempromosikan seni musik gamelan dan wayang di Amerika, kedutaan besar dan konsulat jenderal Republik Indonesia di Amerika juga memberikan andil yang besar dengan memfasilitasi ketersediaan perangkat gamelan, guru, dan tempat di kantor-kantor perwakilannya di Amerika Serikat. [lt/em]