Bertani di Lahan Pekarangan Bantu Petani Sigi Memenuhi Kebutuhan Rumah Tangga

  • Yoanes Litha

Warga memanfaatkan Lahan areal persawahan yang tidak diolah di desa Soulowe, Dolo Selatan, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah untuk menggembalakan ternak kambing, 22 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Ibu-ibu rumah tangga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah menanami lahan pekarangan rumah dengan berbagai sayuran untuk menghemat pengeluaran rumah tangga. Kegiatan itu juga memberi penghasilan tambahan karena mata pencaharian utama sebagai petani belum pulih akibat irigasi yang rusak saat gempa bumi 2018.

Astina sibuk memetik buah tanaman cabai yang tumbuh di pekarangan rumahnya di Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di lahan seluas 100 meter persegi itu, ibu rumah tangga berusia 40 tahun itu juga menanam terung dan kemangi. Sebagian ditanam di tanah, sebagian lain ditanam di wadah-wadah terbuat dari ban bekas.

Ibu Astina (40) memetik buah dari tanaman cabe yang ditanam di pekarangan rumahnya di desa Jono Oge, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 22 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Saat ditemui VOA pada Minggu (22/12), Astina mengatakan menanami lahan pekarangan dengan berbagai jenis tanaman hortikultura itu membantu menekan pengeluaran untuk kebutuhan dapur. Sudah lebih dari satu tahun sejak bencana gempa bumi pada 2018, keluarga Astina masih dililit kesulitan keuangan.

Ibu dua anak itu mengungkapkan akibat bencana alam likuefaksi pada 28 September 2018, dia kehilangan ratusan pohon kelapa yang menjadi sumber pendapatan utama keluarganya. Setiap enam bulan, Astina bisa memproduksi enam ton kopra dari hasil panen buah kelapa. Dengan harga jual kopra Rp 6 ribu per kilogram, Astina bisa mengantongi Rp36 juta rupiah.

“Saya sebagai petani kelapa. Kelapa itu sudah tidak ada. Apa lagi yang mau saya kerjakan? Bingung toh. Yang tadinya saya dapat berapa ton satu kali sekali panen, ini jangankan ton, ratusan kilo saja tidak sampai pak,” kata Astina kepada VOA.

BACA JUGA: Perempuan Penyintas Bencana di Sulteng Desak Pemenuhan Hak atas Tempat Tinggal yang Layak dan Aman

Situasi serupa juga dialami oleh Hatminah, warga desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah.

Berbicara kepada VOA, perempuan berusia 32 tahun itu mengatakan sudah lebih satu tahun areal persawahan di desanya tidak bisa lagi ditanami karena rusaknya saluran irigasi gumbasa. Lahan-lahan pertanian juga banyak rusak, karena permukaan sawah dan kebun tidak lagi rata akibat pergerakan tanah. Kini tanpa sumber pendapatan dari Bertani, keluarganya kesulitan keuangan.

Ibu Hatminah (32) diantara tanaman terung yang ditanaman di pekarangan rumah di desa Jono Oge, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 22 Desember 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)


“Selama ini, semenjak gempa, keuangan ini sulit, tidak seperti dulu. Kalau dulu kita keuangan stabil. Kalau sekarang setengah mati,” kata Hatminah. “Sekarang anak sekolah, biaya sekolah, setiap harinya uang jajan, uang bensin,” tambahnya.

Hatminah berupaya menghemat pengeluaran keluarganya dari pendapatan suaminya yang kini bekerja serabutan sebagai tukang bangunan atau pekerjaan lain yang bisa menghasilkan. Salah satu yang dapat dilakukannya adalah mengolah lahan pekarangan. Hasil bercocok tanam itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Setiap hari, Hatminah bisa menyisihkan Rp 20 ribu -Rp 30 ribu untuk menabung kebutuhan sekolah kedua anaknya.

Ihsan Laburante dari Yayasan Panorama Alam Lestari (YPAL) Sulawesi Tengah menilai penerapan pertanian permakultur dapat menjadi solusi finansial jangka pendek bagi keluarga-keluarga di pedesaan terdampak bencana. Organisasi itu sejak Februari 2019 mendorong pemanfaatan lahan pekarangan dengan memberikan pelatihan bagi 150 ibu rumah tangga di Donggala dan Sigi.

“Pemikiran petani-petani di desa maupun di kota itu nilai ekonomis-nya menanam dan jual, padahal kalau tidak beli lagi bahan dapur, itu nilai ekonomis,” jelas Ihsan.

YPAL bersama yayasan IDEP Selaras Alam asal Bali, dalam program ‘Peningkatan Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan melalui Kegiatan Pengurangan Risiko Bencana di Sulawesi Tengah’, memberikan pelatihan pertanian organic di pekarangan rumah kepada para ibu dari enam desa.

BACA JUGA: Pelatihan Konstruksi Dorong Perempuan Mengawasi Perbaikan Hunian di Sulteng

Para ibu rumah tangga dilatih menanam sembilan tanaman yang menjadi kebutuhan dapur, seperti tomat, cabai, sawi, seledri, kunyit, dan bawang. Pertanian itu membutuhkan lahan rata-rata seluas 100 meter persegi baik di depan, samping hingga belakang rumah. Dengan cara itu maka setiap keluarga memiliki akses ke bahan-bahan pangan dengan mudah tanpa perlu membelinya di pasar.

Merujuk data dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah yang diterima VOA per Juli 2019 menyebutkan terdapat 7.000 petani yang tergabung dalam 300 kelompok petani di Palu, Sigi dan Donggala yang terdampak gempa bumi pada 2018 silam.

Gempa bumi juga mengakibatkan 7.356 hektare areal persawahan rusak dan saluran irigasi Gumbasa tak berfungsi. Saluran irigasi gumbasa memasok kebutuhan air untuk kegiatan pertanian di wilayah Kabupaten Sigi dan Kota Palu.

Your browser doesn’t support HTML5

Bertani di Lahan Pekarangan Bantu Petani Sigi Memenuhi Kebutuhan Rumah Tangga

Kondisi ini menyebabkan penurunan pendapatan rata-rata bulanan para petani sebesar 65 hingga 82 persen. Mereka terpaksa bekerja serabutan, misalnya sebagai tukang bangunan, tukang batu ataupun sektor jasa lainnya, dengan pendapatan rata-rata antara Rp500 ribu-Rp900 ribu per bulan.

Rehabilitasi secara bertahap saluran primer (33.663 meter) dan saluran sekunder (51.099 meter) irigasi gumbasa oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di perkirakan baru rampung seluruhnya pada 2022 mendatang. Tahap pertama diharapkan selesai pada Desember 2019 sehingga sudah dapat mengairi areal persawahan seluas 1.070 hektare pada Januari 2021. [yl/ft]