SOS Children’s Villages Indonesia berupaya membantu pemulihan trauma anak-anak penyintas bencana alam di Sulawesi Tengah dengan mendirikan Child Care Spaces atau ruang ramah anak di lima lokasi kompleks hunian sementara di kota Palu, Sigi dan Donggala. Tempat itu diisi dengan kegiatan pendidikan informal, bermain, bercerita serta kegiatan pengembangan bakat sebagai upaya memulihkan trauma anak-anak yang terdampak bencana alam tahun 2018.
Puluhan anak-anak yang sejak setahun terakhir tinggal bersama keluarga mereka di Hunian Sementara di Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu Sulawesi Tengah, Jumat siang (29/11) terlihat ceria menyaksikan kegiatan peresmian bangunan balai ruang ramah anak yang dinamakan Banua Pomore Nu’ngana yang didirikan oleh SOS Children’s Villages Indonesia, organisasi non profit yang menyediakan pengasuhan alternatif bagi anak-anak yang telah atau berisiko kehilangan pengasuhan orang tua.
Berbicara kepada VOA, Gregor Hadi Nitihardjo, National Director SOS Children’s Villages Indonesia menjelaskan pengadaan Child Care Spaces (CCS) atau ruang ramah anak itu ditujukan untuk membantu pemulihan trauma anak-anak pasca bencana alam. Pihaknya bekerjasama dengan Yayasan Pundi Amal Peduli Kasih Indosiar dan SCTV sejak Mei 2019 telah mendirikan empat CCS yang berada di pemukiman hunian-hunian sementara yang berada di desa Lolu, Tipo, Donggala dan Mamboro. Selain tempat bermain untuk anak-anak, bangunan dalam bentuk panggung berukuran 7,5 x 12 meter persegi yang terbuat dari bahan kayu beratapkan daun rumbia itu, juga digunakan warga di huntara untuk kegiatan pertemuan.
“Jadi, mulai dari segala kegiatan belajar informal, bermain, menggambar, bercerita bahkan sampai pada pengembangan bakat. Jadi segala hal yang anak sukai itu dilakukan disini sehingga anak-anak kembali gembira,” ungkap Gregor Hadi. Meskipun baru diresmikan hari itu, namun fasilitas tersebut sesungguhnya sudah digunakan sejak Mei 2019 silam.
Dia menekankan meskipun bencana alam telah berlalu lebih dari setahun, namun upaya pemulihan trauma melalui kegiatan psikososial tetap harus dilakukan, apalagi banyak di antara anak-anak itu masih tinggal di lokasi-lokasi hunian sementara maupun tempat tinggal darurat. Mengutip data BNPB per Juli 2019, menyebutkan setidaknya terdapat 66.264 jiwa masih tinggal di pengungsian darurat di Palu, Sigi dan Donggala.
“Jujur waktu pertama kali saya datang ke sini setahun yang lalu saya kaget bagaimana anak-anak duduk diam, keceriaan tidak ada. Matanya sama sekali tidak memancarkan kebahagiaan atau keceriaan. Tapi dengan berjalannya program semacam demikian kita bisa lihat sore ini, anak-anak begitu gembira, begitu ceria, tidak ada keragu-raguan,” ungkap Gregor.
Ia menambahkan kegiatan di ruang ramah anak melibatkan tenaga-tenaga pendamping profesional yang telah dilatih untuk membina dan mendidik anak-anak melalui kegiatan bermain, pembelajaran informal dan keterampilan dalam rangka mengembangkan bakat anak-anak. Tenaga-tenaga pendamping yang dipanggil sebagai ‘kakak’ itu umumnya direkrut dari masyarakat setempat.
Winda Fifa yang baru duduk di kelas delapan di salah satu sekolah menengah pertama mengatakan kegiatan yang kerap diikutinya di ruang ramah anak Banua Pomore Nu’ngana adalah latihan menari bersama anak-anak perempuan lainnya. Dengan lapangan yang luas, tempat itu juga digunakan anak laki-laki bermain sepak bola.
“Kalau dulu kita orang (kami) jarang jalan-jalan ke sini, tapi sekarang sudah ada ini kita orang sering main ke sini. Latihan menari, bermain bola, banyak,” ujar Winda yang hari itu ikut terlibat dalam pementasan tarian Pamonte.
Nelfi (46), ibu rumah tangga, penyintas bencana tsunami yang kini tinggal di Hunian Sementara mengatakan keberadaan ruang ramah anak yang dibangun di lingkungan huntara membuat anak-anak sudah memiliki tempat bermain yang lebih aman dan mudah di kontrol oleh orang tua.
“Sebelum ada tempat ini, anak-anak cuma berkeliaran karena belum ada tempat bermain. Berkeliaran di jalanan begitu. Alhamdulillah kondisi anak-anak sekarang sehat baik,” jelasnya.
Nelfi menambahkan dalam situasi pasca bencana seperti ini, para orang tua yang banyak yang kehilangan pekerjaan sehingga mereka juga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan sekolah anak-anak mereka seperti seragam yang layak dan peralatan tulis menulis.
“Bukan cuma hanya SD. SMP, SMA-nya karena kita habis gempa begini kan banyak yang kurang, seperti pakaian sekolah,” imbuh Nelfi di antara para ibu lainnya yang hadir ditempat itu.
Hingga Oktober 2019, terdapat lebih dari 1.400 anak dan 855 keluarga yang menjadi dampingan SOS Children’s Villages di lima lokasi ruang ramah anak, satu di antaranya yang telah lebih dulu dibangun berada di Petobo, Palu Selatan. Bersinergi dengan program pemerintah, SOS Children’s Villages memberikan bantuan berupa pendampingan psikososial, kegiatan edukasi kepada anak-anak, edukasi pengasuhan bagi orangtua, pembagian Home in the Box (HIB) yaitu kotak berisi 25 item keperluan rumah tangga di antaranya kompor, tabung gas, peralatan masak, peralatan tidur dan lainnya.
Berdiri sejak 1949 di Wina, Austria, SOS (dari kata Latin Societas Socialis) Children's Villages kini ada di 135 negara termasuk Indonesia. Saat ini, mengasuh menaungi lebih dari 5.500 anak yang tersebar di 10 kota di Indonesia yaitu: Lembang, Jakarta, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Tabanan, Maumere, Banda Aceh, Meulaboh dan Medan. [yl/ab]