Betulkah RUU P-KS Bertentangan dengan Nilai-Nilai Indonesia?

  • Rio Tuasikal

Puluhan mahasiswa dan masyarakat umum mengikuti diskusi "RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Urgensi dan Miskonsepsi" di Bandung, Sabtu (2/3/2019). (VOA/Rio Tuasikal)

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) ditolak sebagai kalangan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia. Rancangan hukum ini juga dianggap bertentangan dengan nilai agama. Betulkah demikian?

Penolakan sebagian kelompok masyarakat terhadap RUU ini tercermin dalam sebuah petisi online di laman change.org. Penggagas petisi itu, Maimon Herawati, menganggap ada kekosongan hukum terkait hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama.

“Di dalam RUU Kekerasan Seksual sekarang, tidak ada klausul tentang aktivitas seksual yang melanggar agama dan norma tata susila ketimuran kita,” ujarnya dalam petisi online itu.

Maimon, yang juga menggagas petisi melarang iklan band remaja putri Korea, Black Pink, menilai RUU ini mempromosikan “pandangan Barat”.

Ira Imelda dari Forum Pengada Layanan (FPL) mengatakan RUU P-KS bersumber dari pengalaman kasus kekerasan seksual di Indonesia, bukan pandangan Barat. (VOA/Rio Tuasikal)

Namun anggapan itu dibantah oleh Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Perempuan Korban Kekerasan. Ira Imelda dari FPL mengatakan RUU P-KS bersumber dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

“Draft naskah akademik maupun draft RUU itu disusun berdasarkan pengalaman korban dan pengalaman pendamingan terhadap korban, Jadi benar-benar fakta,” ujarnya dalam diskusi di Bandung, Sabtu (2/3/2019) sore.

Dorongan untuk membentuk RUU P-KS ini dimulai pada 2016. Pada April 2016, masyarakat dikejutkan dengan perkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, bocah 14 tahun di Bengkulu. Pada Mei, tiga pria memperkosa dan membunuh Eno di Tangerang dan tega memasukkan gagang cangkul ke kemaluan korban.

RUU ini resmi ditetapkan jadi inisiatif DPR sejak Februari 2017, namun hingga kini Komisi VIII masih dalam taraf menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU). Padahal RUU ini dianggap sebagai jalan terobosan dari kebuntuan kasus-kasus kekerasan seksual.

BACA JUGA: Komnas Perempuan: RUU PKS Tak Bertentangan dengan Nilai Agama

Selama ini, tindakan kekerasan seksual memang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun hanya meliputi pencabulan dan pemerkosaan. Sementara itu, dalam RUU P-KS ada sembilan jenis kekerasan seksual yang akan diatur spesifik, antara lain pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan pemerkosaan. RUU ini juga untuk pertama kalinya mengatur rehabilitasi korban, partisipasi masyarakat, dan kewajiban negara.

Namun, hal itu tidak membuat RUU ini bebas penolakan. Sebagian pihak bahkan menuding RUU ini akan membatasi penggunaan jilbab. Ira, yang aktif di Women Crisis Center Pasundan-Durebang, menegaskan hal itu tidak benar.

“Yang diatur adalah larangan melakukan kekerasan seksual, bukan larangan menggunakan pakaian tertutup. Jadi apapun pilihan pakaian orang, setertutup dan seterbuka apapun, dia tidak boleh diperkosa, tidak boleh dilecehkan, tidak boleh dilakukan pelecehan seksual terhadapnya,” ujarnya.

BACA JUGA: Pakar Hukum Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Akademisi: RUU P-KS Sejalan dengan Ajaran Islam

Sementara itu Dian Andriasari dari Universitas Islam Bandung (Unisba) mengidentifikasi ada perbedaan paradigma di antara kelompok yang mendukung dan menolak RUU P-KS ini. Kelompok pendukung, ujarnya, menggunakan kacamata gender sementara yang menolak menggunakan kacamata moral.

Dian Andriasari mengatakan perbedaan paradigma antara yang mendukung dan menolak RUU P-KS menyebabkan debat berkepanjangan. (VOA/Rio Tuasikal)

“Ada perbedaan paradigmatik. Ini kemudian berimplikasi pada berbedanya cara pandanga dalam melihat akar masalah, definisi, dan bentuk-bentuk dari kekerasan seksual,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Mahasiswa doktoral UIN Yogyakarta ini mengungkapkan, dalam Islam dikenal konsep taklif atau kewajiban dan tanggung jawab manusia. Dian mengatakan, perkosaan berbeda dengan seks di luar pernikahan. Orang korban perkosaan harus dilindungi karena dia dipaksa.

“Sehingga untuk korban yang mengalami paksaan dalam bentuk apapun - yang bentuknya sekarang sudah sangat manipulatif dan juga sangat bervariasi - itu dihilangkan dari hukuman, bahkan dilindungi oleh hukum. Jadi konsep taklif ini yang tidak dipahami padahal itu sudah memenuhi ruang diskursus fiqih sejak zaman dulu,” pungkasnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Betulkah RUU P-KS Bertentangan dengan Nilai-Nilai Indonesia?

Dian mengatakan, agama dan keluarga tetap memiliki peranan dalam mencegah kekerasan seksual. Namun, untuk menjamin pemulihan korban dan partisipasi masyarakat, perlu RUU P-KS.

“Kita sepakat sekali bahwa harus kembali ke konsep keberagamaan, fungsionalisasi peran ketahanan keluarga. Tapi bagaimana dengan nasib korban, bagaimana dengan keadilan?” [rt/em]