Dita Oeprianto, pelaku peledakan bom yang menggunakan mobil di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) adalah pemimpin Jamaah Ansarut Daulah Jawa Timur. Ia dan para pelaku pengeboman lain di Surabaya dan Sidoarjo lainnya pernah menimba ilmu keagamaan dari guru yang sama.
Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Machfud Arifin menyampaikan informasi baru itu dalam keterangan pers di Mapolda Jawa Timur, Selasa siang (15/4).
"Secara umum jaringan ini sudah terbaca oleh kita, oleh Mabes Polri maupun Polda Jawa Timur. Kami sedang bergerak terus, kita mohon doanya agar kita bisa menyelesaikan semuanya. Beberapa orang sudah berhasil kita lumpuhkan, kita amankan. Kita tidak berharap ada banyak sekali yang ditangkap, sebab kalau begitu artinya ada banyak teroris," kata Machfud Arifin.
Polisi kini memfokuskan perhatian kepada empat anak yatim piatu, tiga dari pelaku bom Sidoarjo dan satu anak yang terlempar ketika orangtuanya melakukan aksi pengeboman di Mapolresta Surabaya, Senin pagi. Keempatnya adalah AR (15), FP (11) dan GA (10) dari Sidoarjo dan AIS (8) anak pengebom Mapolresta. Keempatnya baru selesai menjani operasi di RS Bhayangkara Polda Jatim. "Baru satu yang sadar dan bisa diajak bicara," tambah Machfud.
Menurut keterangan Machfud, tiga keluarga ini, bersama sejumlah pihak lain, diketahui rutin melakukan pertemuan di rumah Dita Oeprianto, di Rungkut, Surabaya. Anak-anak pelaku tidak mengenyam pendidikan resmi di sekolah. Aktivitas mereka di luar kelompok cenderung dibatasi. Dalam berbagai kesempatan, anak-anak ini didoktrin melalui tayangan video tentang jihad. Karena itu, kata Machfud, tidak mengherankan jika kemudian mereka bersedia meledakkan diri.
"Mereka ini adalah anggota sel yang tidur, yang kemudian bangkit karena ada pemicunya," ujar Machfud Arifin.
Proses hukum terhadap pimpinan JAD Aman Abdurrahman dan insiden di Mako Brimob Kelapa Dua dianggap sejumlah pihak sebagai pemicu rangkaian serangan di Surabaya ini.
Noriyanto, seorang warga Surabaya, kepada VOA mengaku heran dengan tindakan yang diambil oleh para pelaku dengan menyertakan anak-anak mereka. Dia yakin, anak-anak itu tidak memahami apa yang mereka lakukan. “Lha kalau mau begitu kan sendiri saja, anak-anak ini kan tidak berdosa. Apa tidak kasihan,” ujar Noriyanto.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Surabaya, Muhibbin Zuhri mengaku tidak bisa membayangkan tragedi ini terjadi di Surabaya. Meski dikenal sebagai daerah basis Nahdliyin, Muhibbin mengaku mengetahui ada beberapa organisasi kecil berpaham kekerasan yang tumbuh di kota tersebut.
"Mereka membajak kebebasan berekspresi, berpikir, mengembangkan cara pandang. Itu semua kan dijamin dalam demokrasi, jadi tidak ada yang berhak menghentikan pemikiran mereka, tidak ada yang bisa melarang mereka untuk mengadakan pertemuan sosialisasi. Jadi, jelas mereka membajak kebebasan yang inheren di dalam demokrasi itu," kata Muhibbin Zuhri.
Padahal, menurtut Muhibbin , dalam pertemuan-pertemuan seperti itulah paham radikal disebarkan. Muhibbin mencontohkan, banyak penceramah yang provokatif, tetapi tidak ditindak karena ketiadaan dasar hukum.
Kekhawatiran Muhibbin sejalan dengan temuan polisi, kelompok Surabaya itu menggelar pertemuan rutin bersama seluruh anggota keluarga mereka. Dalam pertemuan semacam inilah, paham kekerasan diajarkan.
Untuk turut menekan laju penyebaranpaham radikal ini, Nahdlatul Ulama melakukan banyak upaya. Muhibbin menyatakan, NU Surabaya telah menginstruksikan kadernya melakukan pengawasan di lingkungan sekitar. Jika ada aktivitas yang diduga cenderung menumbuhkan radikalisme, NU akan menindak.
Your browser doesn’t support HTML5
Muhibbin juga telah meminta warga NU menjaga masjid-masjid agar tidak dijadikan panggung kelompok radikal menyebarkan paham kekerasan. Semua bertujuan menekan pertumbuhan paham yang melahirkan teroris-teroris baru.
"Kami percaya sepenuhnya bahwa polisi mampu menindak teroris. Tetapi terorisme itu sebuah paham, yang hanya bisa dilawan melalui pendidikan, melalui transformasi damai yang berkesinambungan. Di situlah peran masyarakat untuk turut serta melawan radikalisme ini," tambah Muhibbin.
Agar tidak tmenjadi teroris, keempat anak pelaku akan berada dalam pengawasan polisi. Polwan berpengalaman dan psikolog akan disediakan untuk memantau mereka. [ns/ab]